APSiswaNavbarV2

redesain-navbar Portlet

BelajarPintarV3

Sejarah Indonesia (Wajib)

Sistem dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia Masa Orde Baru (1966-1998)

MATERI

Stabilisasi Politik dan Keamanan Sebagai Dasar Pembangunan



Yuk belajar tentang Stabilisasi Politik dan Keamanan sebagai Dasar Pembangunan

Kabinet pembangunan

Pemerintah orde baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:

1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
2. Menyusun dan merencanakan Repelita;
3. Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;
5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.

Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif bagi terlaksananya amanah rakyat melalui TAP MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilihan umum (pemilu), pemerintah Orde Baru melakukan ‘pelemahan’ atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah. Pelemahan itu dilakukan antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan kelompok Islam Fundamentalis (yang sering disebut kaum ekstrimis kanan). Selain itu, pemerintahan Soeharto juga menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam pandangannya lebih mudah dikendalikan, organisasi itu adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar

Pelaksanaan Pemilu


Berdasarkan Tap MPRS No IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan segera melakukan pemilu pada tahun 1968. Namun karena berbagai pertimbangan politik dan keamanan, pemilu baru dapat diselenggarakan pada 1971. Lembaga Pemilu sebagai pelaksana pemilu dibentuk dan ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan peserta pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23 tanggal 23 Mei 1970. Berdasarkan surat keputusan itu.

Jumlah partai politik (parpol) yang diijinkan ikut serta dalam pemilu adalah 9 parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar. Adapun perolehan suara hasil pemilu 1971 adalah sebagai berikut: Golkar(236 kursi, 62,82%), NU (58 kursi,18,68%), Parmusi (24 kursi (5,56%), PNI (20 kursi,6,93%), PSII (10 kursi,2,39%), dan Parkindo (10 kursi, 2,39%). Pada akhir tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan penyederhanaan partai politik dengan alasan–alasan tertentu, seperti kasus pada masa “demokrasi parlementer”. 

Pada masa itu, banyaknya partai dianggap tidak memudahkan pembangunan, justru sebaliknya menambah permasalahan. Penyebabnya bukan saja karena persaingan antar parpol, melainkan juga persaingan di dalam tubuh parpol antara para pemimpinnya tidak jarang memicu timbulnya krisis, bahkan perpecahan yang dinilai bisa mengganggu stabilitas polkam. Atas dasar itu, pemerintah berpendapat perlu adanya penyederhanaan partai sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi Pancasila. Pada awalnya banyak parpol yang menolak gagasan itu, yang sedikit banyak dinilai telah menutup aspirasi kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945. Namun adanya tekanan pemerintah menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain.


Realisasi penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui Sidang Umum MPR tahun 1973. Sembilan partai yang ada berfusi ke dalam dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Empat Partai Islam, yaitu Nahdlatul Ulama/NU, Parmusi, Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII, dan Perti bergabung dalam PPP. Sementara itu lima partai non Islam, yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung dalam PDI. Selain kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang semula bernama Sekber Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal berlaku pula di lingkungan DPR dan MPR.

Pemerintahan Orde Baru berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776 pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat. Semua pemilu yang dilakukan pada masa Orde Baru dimenangkan oleh Golkar. Hal itu disebabkan oleh pengerahan kekuatan-kekuatan penyokong Orde Baru untuk mendukung Golkar. Kekuatan-kekuatan penyokong Golkar adalah aparat pemerintah (pegawai negeri sipil) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Melalui kekuatan-kekuatan tersebut, pemerintah mengarahkan masyarakat untuk memilih Golkar. Meskipun anggota ABRI tidak terlibat dalam Golkar secara langsung, para anggota keluarga dan pensiunan ABRI (Purnawirawan) banyak terlibat dan memberikan dukungan penuh kepada Golkar. Semua pegawai negeri sipil diwajibkan menjadi anggota Golkar. Dengan dukungan pegawai negeri sipil dan ABRI, Golkar dengan leluasa menjangkau masyarakat luas di berbagai tempat dan tingkatan. Dari tingkatan masyarakat atas sampai bawah. Dari kota sampai pelosok desa. Penyelenggaraan pemilu selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta dengan baik.

Apalagi pemilu-pemilu tersebut berlangsung dengan slogan “Luber” (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Suara-suara ketidakpuasan dari masyarakat terhadap demokrasi dikesampingkan. Ketidakpuasan yang ada di masyarakat misalnya mengenai dibatasinya jumlah partai-partai politik dan pengerahan pegawai negeri sipil dan ABRI, serta anggota keluarga mereka untuk mendukung Golkar. Selain melakukan depolitisasi terhadap orsospol (pelarangan kegiatan partai politik) di tingkat kecamatan dan desa (dimana partai-partai politik dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat pedesaan, depolitisasi juga diberlakukan di dunia pendidikan. 

Terutama setelah terjadinya peristiwa malapetaka lima belas Januari (Malari) tahun 1974. Peristiwa itu diawali oleh kegiatan para aktivis mahasiswa yang tergabung dalam grup-grup diskusi yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Kritik-kritik mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah mulai terjadi sejak awal tahun 1970-an, berawal dari grup-grup diskusi di kampus Universitas Indonesia (Salemba), berlanjut dengan keputusan para mahasiswa untuk melakukan demonstrasi menentang kenaikan harga bensin dan menuntut pemberantasan korupsi. Para mahasiswa juga meminta pemerintah untuk meninjau kembali strategi pembangunan yang hanya menguntungkan kaum kaya. 

Demonstrasi Mahasiswa



Pada akhir Repelita I mahasiswa mensinyalir terjadinya penyelewengan program pembangunan nasional yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Kebijakan ekonomi yang memberikan keistimewaan kepada investor Jepang, dinilai merugikan rakyat. Ketika mereka mendengar rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Indonesia pada tanggal 14 Januari 1974, para mahasiswa memanfaatkan momentum tersebut untuk berdemonstrasi menyampaikan tuntutannya. Menjelang kedatangan PM Tanaka, para mahasiswa berdemonstrasi di depan kantor Ali Moertopo dengan membakar boneka-boneka yang menggambarkan diri PM Tanaka serta Sudjono Humardani, Asisten Pribadi (Aspri) Presiden.

Kemudian setelah Tanaka tiba di Indonesia, ribuan mahasiswa berbaris menuju pusat kota dengan menyebarkan plakat-plakat yang menuntut pembubaran Aspri Presiden, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi. Demonstrasi yang tadinya berjalan damai, tiba-tiba berubah menjadi liar tidak terkendali yang akhirnya berkembang menjadi huru-hara. Mobil-mobil Jepang dibakar, etalase gedung importir Toyota Astra Company dihancurkan, pabrik Coca Cola diserang, dan kompleks pertokoan Senen dijarah dan dibakar (Crouch, 1999:354). Sebagai buntut dari peristiwa tersebut, 700 orang ditahan dan 45 orang diantaranya dipenjara.

Semua penghalang pembangunan, termasuk segala hal yang dapat memicu munculnya instabilitas bangsa harus disingkirkan. Itulah kira-kira makna pesan yang terangkum dalam Trilogi Pembangunan, yaitu terwujudnya stabilitas politik dan keamanan, pembangunan di segala aspek kehidupan dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya. Trilogi Pembangunan itu tidak lain merupakan suatu rencana bangsa Indonesia yang digelorakan Presiden Soeharto untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

Negara yang ingin diwujudkan adalah sebuah pemerintahan yang dapat melindungi segenap bangsa, mampu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan negara itu harus dicapai dengan berdasarkan Pancasila. Stabilitas nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Stabilitas Nasional bukan hanya merupakan prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk terwujudnya “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. 

Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain dan resultan dari kebebasan masing-masing individu itu berupa pranata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkeadaban. Oleh karena itu, merupakan kebenaran universal di manapun jika bentuk-bentuk tindakan yang tidak beradab, dalam aspek apapun tidak dapat ditoleransi. Dari semua usaha-usaha yang dilakukan oleh Presiden Soeharto pada masa awal pemerintahannya, semuanya bertujuan untuk menggerakkan jalannya kegiatan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan baik jika ada stabilitas politik dan keamanan.

Stabilisasi Penyeragaman



Yuk belajar tentang Stabilisasi Penyeragaman

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)

Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan alasan Pancasila telah menjadi konsensus nasional, keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan. Gagasan ini disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974. Kemudian dalam pidatonya menjelang pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus 1976, di Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh rakyat agar berikrar pada diri sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetia bagi ikrar tersebut.

Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetia Pancakarsa dengan maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang teguh, kuat, konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita yaitu (1) takwa kepada Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan agama/kepercayaan; (2) mencintai sesama manusia dengan selalui ingat kepada orang lain, tidak sewenang-wenang; (3) mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi;(4) demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah; (5) suka menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan orang lain.

Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR, Akhirnya, pada 21 Maret 1978 rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR No.II/MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk komisi Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan Abdulgani. Sebagai badan pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang berkedudukan di Jakarta. Tugasnya adalah untuk mengkoordinasi pelaksanaan program penataran P4 yang dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional. Tujuan penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi Pancasila. 

Sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara, melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pegawai negeri (termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun militer diharuskan mengikuti penataran P4. Kemudian para pelajar, mulai dari sekolah menengah sampai Perguruan Tinggi, juga diharuskan mengikuti penataran P4 yang dilakukan pada setiap awal tahun ajaran atau tahun akademik.

Melalui penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan penekanan pada masalah “suku”, “agama”, “ras”, dan “antargolongan”, (Sara). Menurut pemerintah Orde baru, “sara” merupakan masalah yang sensitif di Indonesia yang sering menjadi penyebab timbulnya konflik atau kerusuhan sosial. Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan Sara. Secara tidak langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam; dengan kata lain yang lebih halus, harus mau bersikap toleran dalam arti tidak boleh membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang berkaitan dengan masalah sara. 

Munculnya konflik sara

Meskipun demikian, akhirnya konflik yang bermuatan sara itu tetap tidak dapat dihindari. Pada tahun 1992 misalnya, terjadi konflik antara kaum muslim dan non muslim di Jakarta (Ricklefs, 2005: 640). Demikian pula halnya dengan P4. Setelah beberapa tahun berjalan, kritik datang dari berbagai kalangan terhadap pelaksanaan P4. Berdasarkan pengamatan di lapangan banyak peserta penataran pada umumnya merasa muak terhadap P4. Fakta ini kemudian disampaikan kepada Presiden agar masalah P4 ditinjau kembali. Setelah P4 menjadi Tap MPR dan dilaksanakan.

Selanjutnya orsospol yang diseragamkan dalam arti harus mau menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas partai dan organisasi, yang dikenal dengan sebutan “asas tunggal”. Gagasan asas tunggal ini disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan Rapat Pimpinan ABRI (Rapim ABRI), di Pekanbaru , Riau, tanggal 27 Maret 1980 dan dilontarkan kembali pada acara ulang tahun Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) di Cijantung, Jakarta 16 April 1980. Gagasan Asas Tunggal ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang cukup keras dari berbagai pemimpin umat Islam dan beberapa purnawirawan militer ternama

Meskipun mendapat kritikan dari berbagai kalangan, Presiden Soeharto tetap meneruskan gagasannya itu dan membawanya ke MPR. Melalui Sidang MPR ‘Asas Tunggal” akhirnya diterima menjadi ketetapan MPR, yaitu; Tap MPR No.II/1983. Kemudian pada 19 Januari 1985, pemerintah dengan persetujuan DPR, mengeluarkan Undang-Undang No.3/1985 yang menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.8/1985 tentang ormas, yang menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal mereka. 

Sejak saat itu tidak ada lagi orsospol yang berasaskan lain selain Pancasila, semua sudah seragam. Demokrasi Pancasila yang mengakui hak hidup “bhineka tunggal ika”, dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mematikan kebhinekaan, termasuk memenjarakan atau mencekal tokoh-tokoh pengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru.

Penerapan Dwi Fungsi ABRI


Dwifungsi ABRI

Konsep Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara maupun di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.” Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun juga non-hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” 

Sebagai kekuatan sosial, ABRI adalah suatu unsur dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan sosial lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional. Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan militer Indonesia memang tidak dapat dikesampingkan, namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968.


Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang politik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial di seluruh daerah dari mulai Jakarta sampai ke daerah-daerah terpencil.

Politisasi militer

Salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa), keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat anti partai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri. Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar disebut sebagai hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Contohnya pada Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat. 

Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin Golkar (pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali militer. Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi Karya ABRI

Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisasi kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR; serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan oleh MPR. Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI

Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: (a). Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, (b). Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu, (c). ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.

Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru



Yuk belajar tentang Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru

Rehabilitasi ekonomi

Seperti yang telah diuraikan di materi sebelumnya, stabilisasi polkam diperlukan untuk pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat. Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama adalah sangat buruk. Sektor produksi barang-barang konsumsi misalnya hanya berjalan 20% dari kapasitasnya. Demikian pula sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi salah satu tumpuan ekspor juga tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hutang yang jatuh tempo pada akhir Desember 1965, seluruhnya berjumlah 2,358 Juta dollar AS. Dengan Perincian negara-negara yang memberikan hutang pada masa Orde Lama adalah blok negara komunis (US $ 1.404 juta), negara Barat (US $ 587 juta). 

Sisanya pada negara-negara Asia dan badan-badan internasional. Program rehabilitasi ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang isinya antara lain mengharuskan diutamakannya masalah perbaikan ekonomi rakyat di atas segala soal-soal nasional yang lain, termasuk soal-soal politik. Konsekuensinya kebijakan politik dalam dan luar negeri pemerintah harus sedemikian rupa hingga benar-benar membantu perbaikan ekonomi rakyat. Bertolak dari kenyataan ekonomi seperti itu, maka prioritas pertama yang dilakukan pemerintah untuk rehabilitasi ekonomi adalah memerangi atau mengendalikan hiperinflasi antara lain dengan menyusun APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) berimbang

Sejalan dengan kebijakan itu pemerintah Orde Baru berupaya menyelesaikan masalah hutang luar negeri sekaligus mencari hutang baru yang diperlukan bagi rehabilitasi maupun pembangunan ekonomi berikutnya. Untuk menanggulangi masalah hutang-piutang luar negeri itu, pemerintah Orde Baru berupaya melakukan diplomasi yang intensif dengan mengirimkan tim negosiasinya ke Paris, Perancis (Paris Club), untuk merundingkan hutang piutang negara, dan ke London , Inggris (London Club) untuk merundingkan hutang-piutang swasta, sebagai bukti keseriusan dan itikad baik untuk bersahabat dengan negara para donor. 

Pemerintah Orde Baru sebelum pertemuan Paris Club telah mencapai kesepakatan terlebih dahulu dengan pemerintah Belanda mengenai pembayaran ganti rugi sebesar 165 juta dollar AS terhadap beberapa perusahaan mereka yang dinasionalisasi oleh Orde Lama pada tahun 1958. Begitu pula dengan Inggris telah dicapai suatu kesepakatan untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan Inggris yang kekayaannya disita oleh pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun 1965. Sejalan dengan upaya diplomasi ekonomi, pada 10 Januari 1967 pemerintah Orde Baru memberlakukan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA)

Dengan UU PMA, pemerintah ingin menunjukan kepada dunia internasional bahwa arah kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah Orde Baru, berbeda dengan Orde Lama. Orde Baru tidak memusuhi investor asing dengan menuduh sebagai kaki tangan imperialisme. Sebaliknya, aktivitas mereka dipandang sebagai prasyarat yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang ingin membangun perekonomiannya. Dengan bantuan modal mereka, selayaknya mereka didorong dan dikembangkan untuk memperbanyak investasi dalam berbagai bidang ekonomi. 

Penanaman modal

Sebab dengan investasi mereka, lapangan kerja akan segera tercipta dengan cepat tanpa menunggu pemerintah memiliki uang terlebih dahulu untuk menggerakan roda pembangunan nasional. Upaya diplomasi ekonomi ke negara-negara Barat dan Jepang itu, tidak hanya berhasil mengatur penjadwalan kembali pembayaran hutang negara dan swasta yang jatuh tempo, melainkan juga mampu meyakinkan dan menggugah negara-negara tersebut untuk membantu Indonesia yang sedang terpuruk ekonominya. Hal ini terbukti antara lain dengan dibentuknya lembaga konsorsium yang bernama Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI).

Proses pembentukan IGGI diawali oleh suatu pertemuan antara para negara yang memiliki komitmen untuk membantu Indonesia pada bulan Februari 1967, di Amsterdam. Inisiatif itu datang dari pemerintah Belanda. Pertemuan ini juga dihadiri oleh delegasi Indonesia dan lembaga-lembaga bantuan internasional. Dalam pertemuan itu disepakati untuk membentuk IGGI dan Belanda ditunjuk sebagai ketuanya. Selain mengupayakan masuknya dana bantuan luar negeri, pemerintah Orde Baru juga berupaya menggalang dana dari dalam negeri yaitu dana masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah bersama– sama Bank Indonesia dan bank-bank milik negara lainnya adalah berupaya agar masyarakat mau menabung.

Upaya lain adalah menerbitkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN) No.6 1968. Satu hal dari UU PMDN adalah adanya klausul yang menarik yang menyebutkan bahwa dalam penanaman modal dalam negeri, perusahaan-perusahaan Indonesia harus menguasai 51% sahamnya. Untuk menindaklanjuti dan mengefektifkan UUPMA dan UUPMDN pada tatanan pelaksanaannya, pemerintah membentuk lembaga-lembaga yang bertugas menanganinya. Pada 19 Januari 1967, pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanaman Modal (BPPM). Berdasarkan Keppres no.286/1968 badan itu berubah menjadi Team Teknis Penanaman Modal (TTPM). Pada Tahun 1973

TTPM digantikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hingga saat ini. Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada awal Orde Baru mulai menunjukan hasil positif. Hiperinflasi mulai dapat dikendalikan, dari 650% menjadi 120% (1967), dan 80% (1968), sehingga pada tahun itu diputuskan bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama akan dimulai pada tahun berikutnya (1969). Setelah itu pada tahun-tahun berikutnya inflasi terus menurun menjadi 25% (1969), 12% (1970), dan 10% (bahkan sampai 8.88%) pada tahun 1971.

Kebijakan Pembangunan Orde Baru



Yuk belajar tentang Kebijakan Pembangunan Orde Baru, jangan lupa catat poin pentingnya ya!

Kebijakan pembangunan

Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk melaksanakan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang diupayakan melalui Program Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun (Pelita) yang di dalamnya memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.

Pada masa ini pengertian pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dalam usaha mewujudkan tujuan nasional maka Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun 1973-1978-1983-1988-1993 menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN). GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian program-programnya yang kemudian dijabarkan dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Adapun Repelita yang berisi program-program kongkrit yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dalam repelita ini dimulai sejak tahun 1969 sebagai awal pelaksanaan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. 

Kemudian terkenal dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (1969-1994) menurut indikator saat itu pembangunan dianggap telah berhasil memajukan segenap aspek kehidupan bangsa dan telah meletakkan landasan yang cukup kuat bagi bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (1995-2020). Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu: (1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi akibat pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan.

Yaitu: (1) pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan perumahan; (2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pemerataan pembagian pendapatan; (4) pemerataan kesempatan kerja; (5) pemerataan kesempatan berusaha; (6) pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan (8) pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

Pertanian



Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur Pembangunan Lima Tahun (Repelita), swasembada pangan merupakan fokus tersendiri dalam rencana pembangunan yang dibuat oleh Soeharto. Pada Pelita I yang dicanangkan landasan awal pembangunan Pemerintahan Orde Baru, dititikberatkan pada pembangunan di sektor pertanian yang bertujuan mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan sektor pertanian. Tujuan Pelita I, meningkatkan taraf hidup rakyat melalui sektor pertanian yang ditopang oleh kekuatan koperasi dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pembangunan dalam tahapan berikutnya.

Soeharto membangun dan mengembangkan organisasi atau institusi yang akan menjalankan program-program tersebut. Pembangunan ditekankan pada penciptaan institusi pedesaan sebagai wahana pembangunan dengan membentuk Bimbingan Massal (Bimas) yang diperuntukkan meningkatkan produksi beras dan koperasi sebagai organisasi ekonomi masyarakat pedesaan. Sekaligus menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menyalurkan sarana pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Di sisi lain pemerintah juga menciptakan Badan Urusan Logistik (BULOG). Pemerintah Orde Baru membangun pabrik-pabrik pupuk untuk penyediaan pupuk bagi petani. 

Para petani diberi kemudahan memperoleh kredit bank untuk membeli pupuk. Pemasaran hasil panen mereka dijamin dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan. Diperkenalkan juga manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi pangan, terutama beras. Saat itu, budi daya padi di Indonesia adalah yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk yang dibangun antara lain adalah Petrokimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.

Jaringan irigasi teknis dibangun di berbagai daerah dan program pembibitan ditingkatkan. Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang-bidang. Di dalam rincian penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan produksi pangan terutama beras. Koperasi di pedesaan terus dipacu untuk meningkatkan produktivitasnya. Kebijakan terus mengalir guna menopang kegiatan di daerah pedesaan. BUUD yang semula hanya dilibatkan dalam program Bimbingan Massal (Bimas sektor pertanian pangan), kemudian ditingkatkan menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) dengan tugas serta peranan yang terus dikembangkan. 

Instruksi Presiden (Inpres) No.4, Tahun 1973, Tentang Unit Desa dikeluarkan 5 Mei 1973, menjadi tonggak yuridis keberadaan KUD. Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan Instruksi Presiden No. 4, Tahun 1973, yang membentuk Wilayah Unit Desa (Wilud), pada akhirnya menjadi Koperasi Unit Desa (KUD). Dari sinilah lahir Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), yang berada di bawah Departemen Pertanian. Para PPL memperkenalkan dan menyebarluaskan teknologi pertanian kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah menempatkan para penyuluh pertanian di tingkat desa dan kelompok petani. Selain program penyuluhan, klompencapir (kelompok pendengar, pembaca, pemirsa). 

Juga menjadi salah satu program pembangunan pertanian Orde Baru yang khas. Kelompencapir merupakan wadah temu wicara langsung antara petani, nelayan, dan peternak dengan sesama petani, penyuluh, menteri atau bahkan dengan Presiden Soeharto. Kelompencapir juga menyelenggarakan kompetisi cerdas cermat pertanian yang diikuti oleh para petani berprestasi dari berbagai daerah sampai tingkat pusat. Kelompencapir merupakan program Orde Baru di bidang pertanian yang dijalankan oleh Departemen Penerangan. Kelompencapir diresmikan pada 18 Juni 1984, dengan keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia No.110/Kep/Menpen/1984.

Pendidikan



Pada masa kepemimpinan Soeharto pembangunan pendidikan mengalami kemajuan yang sangat penting. Ada tiga hal yang patut dicatat dalam bidang pendidikan masa Orde Baru adalah pembangunan Sekolah Dasar Inpres (SD Inpres), program wajib belajar dan pembentukan kelompok belajar atau kejar. Semuanya itu bertujuan untuk memperluas kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah. Pada 1973, Soeharto mengeluarkan Inpres No 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. Pelaksanaan tahap pertama program SD Inpres adalah pembangunan 6.000 gedung SD yang masing-masing memiliki tiga ruang kelas. 

Dana pembangunan SD Inpres tersebut berasal dari hasil penjualan minyak bumi yang harganya naik sekitar 300 persen dari sebelumnya. Pembangunan paling besar terjadi pada periode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD baru dibuat. Hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150.000 unit SD Inpres telah dibangun. Peningkatan jumlah sekolah dasar diikuti pula oleh peningkatan jumlah guru. Jumlah guru SD yang sebelumnya berjumlah sekitar ratusan ribu, pada awal tahun 1994 menjadi lebih dari satu juta guru. Satu juta lebih guru ditempatkan di sekolah-sekolah inpres tersebut. Lonjakan jumlah guru dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu juga terjadi pada guru SMP. 

Total dana yang dikeluarkan untuk program ini hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I mencapai hampir Rp 6,5 triliun. Program wajib belajar pada era Soeharto mulai dilaksanakan pada 2 Mei 1984, di akhir Pelita (Pembangunan Lima Tahun) III. Dalam sambutannya peresmian wajib belajar saat itu, Soeharto menyatakan bahwa kebijakannya bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama dan adil kepada anak Indonesia berusia 7-12 tahun dalam menikmati pendidikan dasar. Program wajib belajar itu mewajibkan setiap anak usia 7-12 tahun untuk mendapatkan pendidikan dasar 6 tahun (SD).

Dalam upaya memperkuat pelaksanaan GN-OTA, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama Nomor 34/HUK/1996, Nomor 88 Tahun 1996, Nomor 0129/U/1996, Nomor 195 Tahun 1996 tentang Bantuan terhadap Anak Kurang Mampu, Anak Cacat, dan Anak yang Bertempat Tinggal di Daerah Terpencil dalam rangka Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar. Keberhasilan program wajib belajar 6 tahun ditandai dengan kenaikan angka partisipasi sekolah dasar (SD) sebesar 1,4 persen. Angka partisipasi SD menjadi 89,91 persen di akhir Pelita IV. 

Kenaikan angka partisipasi itu menambah kuat niat pemerintah untuk memperluas kelompok usia anak yang ikut program wajib belajar selanjutnya, menjadi 7-15 tahun, atau menyelesaikan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sepuluh tahun kemudian, program wajar berhasil ditingkatkan menjadi 9 tahun, yang berarti anak Indonesia harus mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP. Upaya pelaksanaan wajib belajar 9 tahun pada kelompok usia 7-15 tahun mulai diresmikan pada Pencanangan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994. Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1994.

Program wajib belajar telah meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia saat itu. Fokus utama ketika itu adalah peningkatan angka-angka indikator kualitas pendidikan dasar. Fokus pembangunan pendidikan saat itu, yaitu peningkatan secara kuantitatif, baru kemudian memperhatikan kualitas atau mutu pendidikan. Pada sensus tahun 1971, dari total jumlah penduduk 80 juta jiwa, Indonesia masih memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang berstatus buta huruf. Sepuluh tahun kemudian, menurut sensus tahun 1980, persentase itu menurun menjadi hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya tahun 1990, angkanya terus menyusut menjadi 15,9 persen.

Keluarga Berencana (KB)



Pada masa Orde Baru dilaksanakan program untuk pengendalian pertumbuhan penduduk yang dikenal dengan Keluarga Berencana (KB). Pada tahun 1967 pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 2,6% dan pada tahun 1996 telah menurun drastis menjadi 1,6%. Pengendalian penduduk dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas rakyat Indonesia dan peningkatan kesejahteraannya. Keberhasilan ini dicapai melalui program KB yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Program KB di Indonesia, diawali dengan ditandatanganinya Deklarasi Kependudukan PBB pada tahun 1967 sehingga secara resmi Indonesia mengakui hak-hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran sebagai hak dasar manusia dan juga pentingnya pembatasan jumlah penduduk sebagai unsur perencanaan ekonomi dan sosial. Keberhasilan Indonesia dalam pengendalian jumlah penduduk dipuji oleh UNICEF, karena dinilai berhasil menekan tingkat kematian bayi dan telah melakukan berbagai upaya lainnya dalam rangka mensejahterakan kehidupan anak-anak di tanah air. 

UNICEF bahkan mengemukakan bahwa tindakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia itu hendaknya dijadikan contoh bagi negara-negara lain yang tingkat kematian bayinya masih tinggi. Program KB di Indonesia sebagai salah satu yang paling sukses di dunia, sehingga menarik perhatian dunia untuk mengikuti kesuksesan Indonesia. Pemerintah pun mengalokasikan sumber daya dan dana yang besar untuk program ini.
 

Kesehatan Masyarakat, Posyandu



Perkembangan puskesmas bermula dari konsep Bandung Plan diperkenalkan oleh dr. Y. Leimena dan dr. Patah pada tahun 1951, Bandung Plan merupakan suatu konsep pelayanan yang menggabungkan antara pelayanan kuratif dan preventif. Tahun 1956 didirikanlah proyek Bekasi oleh dr. Y. Sulianti di Lemah Abang, yaitu model pelayanan kesehatan pedesaan dan pusat pelatihan tenaga. Kemudian didirikan Health Centre (HC) di 8 lokasi, yaitu di Indrapura (Sumut), Bojongloa (Jabar), Salaman (Jateng), Mojosari (Jatim), Kesiman (Bali), Metro (Lampung), DIY dan Kalimantan Selatan. 

Pada 12 November 1962 Presiden Soekarno mencanangkan program pemberantasan malaria dan pada tanggal tersebut menjadi Hari Kesehatan Nasional (HKN). Konsep Bandung Plan terus dikembangkan, tahun 1967 diadakan seminar konsep Puskesmas. Pada tahun 1968 konsep Puskesmas ditetapkan dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional dengan disepakatinya bentuk Puskesmas yaitu Tipe A, B & C. Kegiatan Puskesmas saat itu dikenal dengan istilah ’Basic’. Ada Basic 7, Basic 13 Health Service yaitu : KIA, KB, Gizi Mas, Kesling, P3M, PKM, BP, PHN, UKS, UHG, UKJ, Lab, Pencatatan dan Pelaporan. Pada tahun 1969, Tipe Puskesmas menjadi A & B. 

Pada tahun 1977 Indonesia ikut menandatangani kesepakatan Visi : ”Health For All By The Year 2000”, di Alma Ata, negara bekas Federasi Uni Soviet, pengembangan dari konsep ”Primary Health Care”. Tahun 1979 Puskesmas tidak ada pentipean, dan dikembangkan piranti manajerial perencanaan dan penilaian Puskesmas yaitu ’Micro Planning’ dan Stratifikasi Puskesmas. Pada tahun 1984 dikembangkan Posyandu, yaitu pengembangan dari pos penimbangan dan kurang gizi. Posyandu dengan 5 programnya yaitu, KIA, KB, Gizi, Penanggulangan Diare dan Imunisasi. Posyandu bukan saja untuk pelayanan balita tetapi juga untuk pelayanan ibu hamil. 

Bahkan pada waktu-waktu tertentu untuk promosi dan distribusi Vit.A, Fe, Garam Yodium, dan suplemen gizi lainnya. Bahkan Posyandu saat ini juga menjadi adalah kegiatan penggerakan masyarakat (mobilisasi sosial) seperti PIN, Campak, dan Vit A. Perkembangan puskesmas menampakan hasilnya pada era Orde Baru, salah satu indikatornya adalah semakin baiknya tingkat kesehatan. Pada sensus 1971 hanya ada satu dokter untuk melayani 20,9 ribu penduduk. Sensus 1980, menunjukkan bahwa satu tenaga dokter untuk 11,4 ribu penduduk.

1.

Pilihlah jawaban yang paling tepat!

Dibawa ini yang termasuk Trilogi Pembangunan adalah

1. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
4. pemerataan pembangunan negara
5. pertumbuhan pembangunan pada daerah-daerah tertinggal
 


A. 1,2,3
B. 1,2,4
C. 2,3,4
D. 2,4,5
E. 1,3,4

JAWABAN BENAR

A.

1,2,3

PEMBAHASAN

Trilogi Pembangunan
1. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

2.

Pilihlah jawaban yang paling tepat!

Apa saja pedoman Pemerintahan Orde Baru pada tiga konsep pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan ….


A. Pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
B. Pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, Stabilitas ekonomi
C. Pemerataan ekonomi, pemerataan pembangunan,pemerataan hasil
D. Pemerataan ekonomi, pemerataan keadilan sosial, pemarataan pembangunan
E. Pemerataan pembangunan, pemerataan pembangunan, stabilitas nasional

JAWABAN BENAR

A.

Pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas nasional yang sehat dan dinamis

PEMBAHASAN

Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu: (1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

3.

Pilihlah jawaban yang paling tepat!

Program Keluarga Berencana (KB) dipuji oleh UNICEF karena ...


A. Mengurangi populasi masyarakat Indonesia
B. Menekan angka kelahiran
C. Menekan angka kematian bayi
D. Menekan angka kematian lansia
E. Mensejahterakan para lansia

JAWABAN BENAR

C.

Menekan angka kematian bayi

PEMBAHASAN

Program Keluarga Berencana (KB) pada masa orde baru dipuji oleh UNICEF karena dinilai berhasil menekan tingkat kematian bayi dan telah melakukan berbagai upaya lainnya dalam rangka mensejahterakan kehidupan anak-anak di tanah air.

4.

Pilihlah jawaban yang paling tepat!

Yang manakah pabrik pupuk yang dibangun oleh pemerintah orde baru ...


A. PT. Pertamina
B. PT. Pupuk Kaltim
C. Petro kimia Gresik
D. PT. Antam
E. Pegadaian

JAWABAN BENAR

C.

Petro kimia Gresik

PEMBAHASAN

Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk yang dibangun antara lain adalah Petro kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.

redesain-navbar Portlet