APSiswaNavbarV2

CssBlog

redesain-navbar Portlet

metablog-web Portlet

CssBlog

Blog

5 Miskonsepsi Kurikulum Merdeka yang Paling Sering Dijumpai

Ada lima kesalahpahaman utama yang paling sering muncul mengenai Kurikulum Merdeka.

Photo by Monica Melton on Unsplash

Miskonsepsi Kurikulum Merdeka mungkin saja terjadi. Namun sebenarnya wajar saja bila kita sempat keliru memahami kurikulum yang terbaru ini, Guru Pintar. Sama seperti hal-hal lainnya, kita bisa belajar banyak dan memperbaiki diri dari kesalahan yang telah terjadi.

Nah, sebenarnya apa saja miskonsepsi terkait proses belajar mengajar dalam Kurikulum Merdeka? Di antara sekian kesalahpaman yang ada, berikut adalah lima miskonsepsi Kurikulum Merdeka yang paling utama menurut Anindito Aditomo, Kepala BSKAP (Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan) Kemendikbudristek RI.

 

1. Kurikulum menjadi Tujuan

implementasi kurikulum merdeka belajar
Photo by Trnava University on Unsplash

Guru Pintar sudah merasa terintimidasi dengan pergantian kurikulum? Bagaimana implementasi Kurikulum Merdeka bisa berjalan dengan baik sementara Kurikulum 2013 saja masih terseok-seok? Sepanjang kita mengajar, pergantian kurikulum terkadang terasa seakan membuka lembaran buku baru, kemudian menutup dan menyimpan baik-baik buku lama di rak pajangan.

Namun tidak demikian dengan Kurikulum Merdeka, Guru Pintar. Alih-alih terfokus pada bagaimana menyelaraskan seluruh kegiatan pembelajaran dan perangkat pengajaran agar sesuai dengan kurikulum yang baru, sejenak mari kita renungkan dahulu: mengapa perlu Kurikulum Merdeka?

Kurikulum Merdeka memberi kita tool atau alat untuk memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas. Bukankah pembelajaran yang berkualitas sejatinya adalah esensi dan tujuan kita mengajar selama ini, Guru Pintar? Nah, implementasi Kurikulum Merdeka memberi kita kesempatan untuk mewujudkan hasrat dan impian tersebut. Jadi seiring dengan pelaksanaan kurikulum yang baru ini, semestinya kita tidak lagi sibuk dengan urusan-urusan administratif seperti mengganti istilah, mengubah format dokumen, dan semacamnya.

 

2. Penerapannya Bersifat Absolut

konsep Kurikulum Merdeka belajar
Photo by Marissa&Eric on Unsplash

Sebagai alat, pelaksanaan Kurikulum Merdeka tidak ada yang mutlak salah atau benar. Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar di sekolah A mungkin dan boleh saja berbeda dari implementasinya di sekolah B. Hal ini dimungkinkan karena karakteristik dan kebutuhan siswa berbeda, demikian pula dengan fasilitas sekolahnya.

Meskipun begitu, sejalan dengan konsep Kurikulum Merdeka Belajar, kita masih bisa menilik "salah benarnya" pelaksanaan kurikulum. Kriteria utama yang patut kita perhatikan dalam implementasi Kurikulum Merdeka adalah apakah penerapannya mampu menstimulasi tumbuh kembang, karakter, dan kompetensi peserta didik. Untuk itu, kita sendiri lah, guru yang mengajar di kelas, yang dapat menilainya.

 

3. Membutuhkan Pelatihan

Miskonsepsi Implementasi Kurikulum Merdeka
Photo by Bram Naus on Unsplash

Sebelum pelaksanaan kurikulum yang baru, biasanya kita mengikuti pelatihan terlebih dahulu. Maka wajar saja bila salah satu miskonsepsi implementasi Kurikulum Merdeka adalah kita menunggu pelatihan lagi.

Padahal tidak begitu, Guru Pintar. Kurikulum Merdeka memberi ruang yang seluas-luasnya bagi sekolah dan guru untuk mengembangkan kapasitasnya secara mandiri. Sekali lagi, implementasi Kurikulum Merdeka Belajar antar sekolah akan sangat kontekstual, sesuai dengan fasilitas serta karakteristik dan kebutuhan siswanya masing-masing.

Oleh sebab itu, tidak ada pelatihan khusus untuk menyeragamkan pelaksanaan kurikulum. Lantas apa peran Kemendikbud? Jika ada resources atau perangkat pembelajaran yang dibutuhkan, maka di situlah peran Kemendikbud untuk menyediakan.

 

4. Pelaksanaan secara Instan

Kurikulum Merdeka berbasis apa
Photo by Arren Mills on Unsplash

Karena tidak ada pelatihan khusus mengenai implementasi Kurikulum Merdeka dan cara mengajar di kelas, kita sendiri lah yang berproses, Guru Pintar. Bagaimanapun, kita lah yang memahami betul seperti apa siswa-siswi kita di kelas. Kita juga mengetahui fasilitas apa yang tersedia dan kita butuhkan demi lancarnya kegiatan belajar mengajar.

Dari setiap kegiatan belajar mengajar di kelas, kita kemudian dapat merefleksikan apa-apa saja yang dapat kita perbaiki lagi pada pertemuan yang akan datang. Siklus ini akan terus terulang, dan di situlah kita berproses. Dalam pelaksanaan kurikulum ini, kita harus siap jatuh bangun, mengikuti irama naik turunnya proses belajar mengajar di kelas.

 

5. Membutuhkan Fasilitas Lengkap

Mengapa Perlu Kurikulum Merdeka
Photo by Centre for Ageing Better on Unsplash

Satu lagi miskonsepsi implementasi Kurikulum Merdeka yang paling umum, Guru Pintar: hanya sekolah dengan fasilitas lengkap yang dapat menerapkan kurikulum ini. Padahal, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Kurikulum Merdeka sangat fleksibel sehingga dapat diterjemahkan, diturunkan, ataupun dioperasionalkan menjadi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap sekolah.

Keleluasaan ruang untuk menerjemahkan pelaksanaan Kurikulum Merdeka berlaku bagi semua sekolah, termasuk sekolah-sekolah di daerah pelosok maupun dengan fasilitas yang terbatas. Bahkan, pelaksanaan Kurikulum Merdeka juga dimungkinkan sekalipun kita sebagai guru pengajarnya belum sepenuhnya siap.

 

Pembelajaran yang Merdeka

Apakah ada PTS di Kurikulum Merdeka
Photo by Raman on Unsplash

Timbulnya miskonsepsi Kurikulum Merdeka seperti yang telah diuraikan di atas tak lepas dari miskonsepsi belajar yang selama ini, disadari atau tidak, berlangsung cukup lama. Miskonsepsi belajar adalah, mengutip Herman Firdaus pada laman Blog Barabai, kesalahan yang terjadi pada proses pembelajaran, antara lain:

- belajar hanya untuk ujian

- kendali belajar berada pada guru

- siswa memiliki kebutuhan dan minat belajar yang sama

- belajar itu menghafal dan menggunakan rumus

- keberhasilan belajar ditandai dengan nilai angka terstandar, dll.

Implementasi Kurikulum Merdeka menuntut perubahan paradigma kita sebagai guru guna membawa kembali proses belajar kepada tujuannya semula – tidak lagi demi nilai ujian. Kalau begitu, apakah ada PTS di Kurikulum Merdeka?

Ada dua penilaian atau asesmen dalam Kurikulum Merdeka, yaitu formatif dan sumatif. Kembali kepada fleksibilitas penerjemahan dan operasional pelaksanaan kurikulum ini di tingkat satuan pendidikan, PTS bukan sesuatu yang bersifat mutlak. Lantas apa yang dimaksud dengan tujuan belajar?

Kita dapat kembali pada pertanyaan sebelumnya, Guru Pintar, mengapa perlu Kurikulum Merdeka? Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar sesungguhnya berorientasi pada siswa – memprioritaskan tumbuh kembang peserta didik secara utuh.

Oleh sebab itu, pelaksanaan kurikulum ini memberi kita kemudahan-kemudahan dengan, misalnya, muatan materi yang lebih sedikit pada setiap mata pelajaran. Saat tidak terburu-buru mengejar ketuntasan materi, kita dapat mengajar dengan menggunakan metode yang lebih interaktif dan menyenangkan.

Di samping itu, pelaksanaan Kurikulum Merdeka memungkinkan kita untuk mengembangkan karakter peserta didik melalui project based learning. Ini juga menjawab pertanyaan, "Kurikulum Merdeka berbasis apa?"

Kurikulum Merdeka secara khusus mengalokasikan 20% sampai 30% jam pelajaran untuk project based learning, misalnya, berupa pembuatan karya seni atau produk untuk dijual hingga penyelesaian atau pemecahan masalah sampah di sekitar sekolah. Implementasi Kurikulum Merdeka seperti ini memberi siswa pengalaman belajar yang aplikatif dan berorientasi pada problem yang nyata. Harapannya, Guru Pintar, pengalaman belajar yang nyata mampu mengembangkan karakter peserta didik dengan lebih baik.

00

Entri Blog Lainnya

thumbnail
thumbnail
Menambah Komentar

ArtikelTerkaitV3

Artikel Terkait

download aku pintar sekarang

BannerPromoBlog