APSiswaNavbarV2

CssBlog

redesain-navbar Portlet

metablog-web Portlet

CssBlog

Blog

Kenapa Anak Broken Home Butuh Konsultasi Psikologi?

Konseling bisa membantu menyembuhkan trauma akibat konflik di dalam keluarga.

Photo by Jordan Whitt on Unsplash

Mental anak broken home sebenarnya enggak bisa dibandingkan sepenuhnya dengan mental anak yang tumbuh di tengah keluarga yang utuh dan harmonis. Sobat Pintar yang pernah mengalami kacaunya keadaan keluarga mungkin enggak mudah bisa relate dengan suasana keluarga yang tenang dan penuh kasih sayang. Enggak apa-apa, Sobat. Setiap keluarga memang berbeda.

Di tengah situasi keluarga yang "hiruk-pikuk," wajar saja bila kita merasa sendirian dan kesepian. Mau ngobrol sama Papah atau Mamah, masing-masing sudah letih dengan permasalahannya sendiri. Ada kalanya kita pura-pura kuat, seolah tak terjadi apa-apa. Terkadang kita bikin gara-gara entah kenapa dan untuk apa. Tanpa sepenuhnya kita sadari, sebenarnya kondisi psikologi mental kita sedang tidak baik-baik saja.

 

Menjadi Anak Broken Home Itu...

mental anak broken home
Photo by Steven Thompson on Unsplash

Apa pun yang kita rasakan sebagai anak broken home, itu semua nyata dan valid. Namun karena setiap keluarga berbeda dan kita masing-masing pun berbeda, apa yang kita rasakan sebagai sesama anak broken home takkan bisa sepenuhnya sama. Emangnya gimana sih rasanya jadi anak broken home?

Yang pasti, kondisi psikologi mental kita tidak sehat. Beban emosional dan trauma yang kita alami sebenarnya cukup buruk – entah disadari atau tidak. Pertikaian hingga perpisahan orang tua bisa membuat kita merasa terasing, tidak aman, kesepian, bahkan mungkin merasa bersalah. Semua itu boleh jadi muncul dalam beberapa perilaku yang spesifik. Misalnya, apa aja sih 10 tingkah laku anak broken home?

1. Mengekspresikan Emosi dengan Kurang Tepat

Kondisi psikologi mental anak broken home dipaksa untuk menghadapi suasana keluarga yang entah selalu ribut atau justru sunyi dan tegang. Yang mana pun itu, suasana keluarga broken home tak mampu memberikan dukungan serta rasa aman dan nyaman yang kita butuhkan. Tak jarang kita dipaksa untuk bersikap tenang dan diam sambil merasakan berbagai macam emosi di tengah keluarga, entah itu marah, sedih, kecewa, kesepian, terasing, depresi, frustrasi, hingga agresi.

Berada dalam situasi seperti itu dalam kurun waktu tertentu memang tidak sehat bagi kesehatan psikologi mental kita. Namun toh, kita tak punya pilihan, kan? Alhasil, tak jarang kita kesulitan mengungkapkan apa yang sebenarnya kita rasakan. Mungkin kita menjadi temperamental, agresif, mudah terkena panic attack, dan lain sebagainya.

2. Sulit Fokus

PR yang mana? Tugas kelompok? Presentasi apaan? Enggak tau kenapa rasanya kita kayak enggak satu sekolah aja gitu sama teman-teman sekelas. Sebenarnya kita enggak pernah sengaja melupakan tugas-tugas itu, tetapi emang susah aja konsentrasi dengan apa-apa yang kudu dikerjain. Kalau ada konsultasi masalah untuk anak broken home, mungkin "pikun" kita ini masih bisa tertolong, deh.

3. Insecure dalam Menjalin Hubungan

Menyaksikan runtuhnya hubungan orang tua memberi kita pelajaran hidup tersendiri. Sebagian kita mungkin menjadi sangat selektif memilih circle, sebagian lagi tanpa disadari justru terpaut pada orang-orang yang toxic. Jangan sampai masuk di kategori yang terakhir ini ya, Sobat Pintar. Kita masih bisa keluar dari evil cycle itu dengan melakukan konsultasi psikologi anak, kok.

4. Mencari Pelarian

Tak mudah sepenuhnya memahami apa yang kita rasakan. Kita juga enggak sepenuhnya paham yang terjadi antara Papah dan Mamah. Yang mudah, mungkin kita bolos sekolah, mencoba rokok atau zat-zat "menarik" lainnya, kebut-kebutan di jalan raya, atau apa pun yang bisa sejenak mengalihkan pikiran yang ruwet dan dada yang sesak. Alih-alih membantu kita melakukan konseling anak broken home, misalnya, orang-orang malah melabeli kita sebagai anak nakal.

5. Insomnia

Saat dunia tenang dalam tidurnya, kita terjaga sepenuhnya saking berisiknya isi kepala. Memang gejala insomnia bukan ciri khas kondisi mental anak broken home, tetapi tak sedikit yang mengalaminya. Kamu insomnia juga atau enggak sih, Sobat? Apa yang kamu pikirkan saat terjaga sepanjang malam kayak gitu? Apa kamu galau tentang masa depanmu? Kalau ada konsultasi anak galau masa depan di tengah malam mungkin bakal ngebantu kali, ya?

6. Menghindari Masalah

Karena enggak bisa ngapa-ngapain dengan kondisi keluarga yang carut-marut, tak jarang kita memilih untuk menghindar. Mungkin kita juga lelah mendengarkan perdebatan orang tua. Mungkin kita hanya menginginkan ketenangan sebentar. Namun tanpa disadari, terkadang kebiasaan menghindar dari masalah itu terbawa terus sampai kita dewasa. Alih-alih duduk bareng dan ngobrolin resolusi masalahnya, kita memilih menghindari siapapun ketika nanti kita berkonflik. Udah deh, kalau yang kayak gini jangan tanya lagi, apakah anak broken home harus ke psikolog? Jawabannya pasti iya.

7. Caper

Karena Papah Mamah sibuk sendiri dengan urusan mereka, kita jarang mendapatkan perhatian yang layak dari orang tua. Lantas kita berusaha mendapatkan perhatian itu dari luar keluarga – entah dari mana pun asalkan kebutuhan kita untuk diperhatikan itu terpenuhi. Mungkin dari jumlah likes dari post akun medsos. Mungkin dengan datang terlambat di sekolah. Mungkin dengan make fun of atau bahkan nge-bully seseorang. Terkadang kita pengin nanya balik ke orang-orang, bagaimana psikologi anak broken home? Woy, kita cuma butuh perhatian!

8. Over protektif

Kondisi mental anak broken home itu berbeda-beda. Ada juga anak broken home yang tumbuh dewasa menjadi sosok yang over protektif pada orang-orang yang disayanginya. Kita tak ingin menyaksikan orang-orang yang kita sayangi terluka, sebagaimana kita melihat orang tua, kakak, atau adik kita pernah terluka. Bahkan kita bisa loh, menjadi pendengar yang baik dan bahu yang kokoh untuk bersandar.

Di sisi lain, ada juga anak broken home yang lebih nyaman sebagai lone wolf. Bagi mereka, menjaga jarak aman dengan semua orang adalah cara untuk melindungi diri sendiri agar tidak disakiti, tidak dikecewakan. Makanya jangan ditanya, sekuat apa mental anak broken home? Kita ras kuat di muka bumi, Sobat!

9. Ogah Pulang

Ngapain pulang? Toh yang ada cuma keributan. Kita butuh pulang untuk istirahat, mendapatkan rasa tenang. Kalau ga ada, buat apa pulang? Begitulah kurang lebih psikologi mental anak broken home.

10. Pendiam

Ada juga anak broken home yang menjadi pendiam. Enggak, aslinya kita enggak benar-benar pendiam dari lahir, kok. Kondisi psikologi mental kita hanya terlatih berada dalam keadaan terpaksa menerima keadaan tanpa pernah diminta pendapat oleh orang tua. Kita juga tak ingin menimbulkan lebih banyak kerumitan baru yang tak perlu. Ya udah deh, mending diam.

 

Konseling Anak Broken Home

tes psikologi anak broken home
Photo by Jilbert Ebrahimi on Unsplash

Berbagai kondisi psikologi mental memengaruhi tingkah laku anak-anak dari keluarga yang mengalami permasalahan broken home. Kamu mengekspresikan kondisi psikologi mentalmu dengan cara lain? Sah-sah saja, Sobat Pintar. Meskipun sama-sama broken home, keadaan satu anak tentu berbeda dari anak yang lain. By the way, kalau ada tes psikologi anak broken home, mungkin kita bisa mengetahui tingkat kesehatan mental kita, kali ya?

Eh, kamu bisa juga loh, langsung menghubungi psikolog untuk melakukan konsultasi masalah untuk anak yang mengalami broken home tanpa harus ambil tes ini itu terlebih dahulu. Mungkin kamu menyadarinya, atau mungkin tidak, tetapi konseling anak broken home dapat membantu kita mengurai berbagai macam emosi yang selama ini kita pendam. Hopefully, dengan menghadapi keruwetan di dalam diri kita melalui konseling, kita bisa sembuh dari luka-luka kita dan bangkit kembali.

20

Entri Blog Lainnya

thumbnail
thumbnail
Menambah Komentar
astro.tea
00
astro.tea
00

ArtikelTerkaitV3

Artikel Terkait

download aku pintar sekarang

BannerPromoBlog