Materi Sejarah Indonesia (Wajib) - Perjuangan di Awal Kemerdekaan Kelas 11 IIS - Belajar Pintar
BelajarPintarV3
-
Peta Belajar Bersama
-
Perkembangan dan Tantangan Awal Kemerdekaan
- Kondisi awal Indonesia Merdeka
- Kedatangan Sekutu dan NICA (1945-1946)
- Perjuangan Rakyat Semarang (1945-1946)
- Perjuangan Rakyat Surabaya (1945)
- Pertempuran Ambarawa (1945)
- Pertempuran Medan Area (1945)
- Bandung Lautan Api (1946)
- Berita Proklamasi di Sulawesi (1945)
- Operasi Lintas Laut Banyuwangi – Bali (1947)
- Latihan 1
- Latihan 2
- Latihan 3
- Latihan 4
- Latihan 5
- Latihan 6
- Latihan 7
-
Perjuangan Bangsa Indonesia
- Perundingan Linggarjati (1947)
- Agresi Militer I (1947-1948)
- Perjanjian Renville (1948)
- Agresi Militer II (1948)
- Peran PDRI : Penjaga Eksistensi RI (1948-1949)
- Serangan Umum 1 Maret 1949
- Perjanjian Roem-Royen (1949)
- Konferensi Inter-Indonesia (1949)
- Konferensi Meja Bundar (1949)
- Pembentukan Republik Indonesia Serikat dan Pengakuan Kedaulatan (1949)
- Kembali ke Negara Kesatuan (1950)
- Latihan 1
- Latihan 2
- Latihan 3
- Latihan 4
- Latihan 5
- Latihan 6
- Latihan 7
Peta Belajar Bersama
Sobat, ini nih, ada Peta Belajar Bersama Sejarah di materi berikut!

Kondisi awal Indonesia Merdeka


Sumber: https://miliksejarah.blogspot.com/
Secara politis keadaan Indonesia pada awal kemerdekaan belum begitu mapan. Ketegangan, kekacauan, dan berbagai insiden masih terus terjadi. Hal ini tidak lain karena masih ada kekuatan asing yang tidak rela kalau Indonesia merdeka. Sebagai contoh rakyat Indonesia masih harus bentrok dengan sisa-sisa kekuatan Jepang. Jepang beralasan bahwa ia diminta oleh Sekutu agar tetap menjaga Indonesia dalam keadaan status quo. Di samping menghadapi kekuatan Jepang, bangsa Indonesia harus berhadapan dengan tentara Inggris atas nama Sekutu, dan juga Belanda atau NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang berhasil datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu.
Pemerintahan memang telah terbentuk, beberapa alat kelengkapan negara juga sudah tersedia, tetapi karena baru awal kemerdekaan tentu masih banyak kekurangan. PPKI yang keanggotaannya sudah disempurnakan berhasil mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD dan memilih Presiden-Wakil Presiden. Bahkan, untuk menjaga keamanan negara juga telah dibentuk TNI.
Kondisi perekonomian negara masih sangat memprihatinkan sehingga terjadi inflasi yang cukup berat. Hal ini dipicu karena peredaran mata uang rupiah Jepang yang tak terkendali, sementara nilai tukarnya sangat rendah. Pemerintah RI sendiri tidak bisa melarang beredarnya mata uang tersebut, mengingat Indonesia sendiri belum memiliki mata uang sendiri. Sementara kas pemerintah kosong, waktu itu berlaku tiga jenis mata uang, yaitu De Javasche Bank, uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang rupiah Jepang. Bahkan, setelah NICA datang ke Indonesia juga memberlakukan mata uang NICA.
Kondisi perekonomian ini semakin parah karena adanya blokade yang dilakukan NICA. Belanda juga terus memberi tekanan dan teror terhadap pemerintah Indonesia. Inilah yang menyebabkan Jakarta semakin kacau sehingga pada tanggal 4 Januari 1946 Ibu Kota RI pindah ke Yogyakarta. Kemudian untuk mengatasi keadaan keuangan, pada 1 Oktober 1946 Indonesia mengeluarkan uang RI yang disebut ORI (Oeang Republik Indonesia). Sementara itu uang NICA dinyatakan sebagai alat tukar yang tidak sah.
Tujuan dari blokade Belanda tersebut adalah menjatuhkan Republik Indonesia yang baru berdiri dengan senjata ekonomi. Akibatnya, perekonomian bangsa Indonesia semakin memburuk dan bangsa Indonesia juga kekurangan bahan-bahan impor yang sangat dibutuhkan. Berikut alasan belanda melakukan blokade ekonomi:
- Mencegah masuknya senjata dan peralatan militer ke Indonesia
- Mencegah keluarnya hasil perkebunan milik Belanda dan milik perusahaan asing lainnya
- Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh bukan bangsa Indonesia.
Perundingan Linggarjati (1947)


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/
Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Republik Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda dengan jalan diplomatik. Perjanjian itu melibatkan pihak Indonesia dan Belanda, serta Inggris sebagai penengah. Tokoh-tokoh dalam perundingan itu adalah Letnan Jenderal Sir Philip Christison dari Inggris, seorang diplomat senior serta mantan duta besar Inggris di Uni Soviet, yang kemudian diangkat sebagai duta istimewa Inggris untuk Indonesia. Wakil dari Belanda adalah Dr. H.J. Van Mook. Indonesia diwakili Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan Sjahrir.
Sebelum perundingan Linggarjati, sudah dilakukan beberapa kali perundingan baik di Jakarta maupun di Belanda. Namun, usaha-usaha untuk mencapai kesepakatan belum memenuhi harapan baik bagi pihak Indonesia maupun bagi pihak Belanda. Usaha itu mengalami kegagalan karena masing-masing pihak mempunyai pendapat yang berbeda. Van Mook adalah orang Belanda yang lahir di Indonesia, yaitu di Semarang. Ia juga seorang penganjur persekutuan sejak tahun 1930-an. Ia termasuk kelompok pendukung gerakan orang Belanda di tanah jajahan Hindia Belanda. Mereka bertujuan untuk menjadikan Hindia Belanda sebagai tanah air mereka dalam bentuk persemakmuran.
Atas pandangan itu suatu saat nanti Indonesia menjadi bagiannya sesuai dengan makna politik dan sosialnya sendiri. Atas dasar pemikirannya itu Van Mook berkeinginan keras untuk kembali ke Indonesia. Sebagai seorang Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Van Mook lebih siap menghadapi perubahan situasi daripada pemerintahan yang ada di Negeri Belanda. Namun, ia mendapatkan situasi yang jauh dari perkiraannya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan segala konsekuensinya itu tidak mungkin untuk ditarik kembali. Belanda hanya dapat menolak dan tidak mengakui negeri jajahannya sebagai negara yang berdaulat.
Pada awal kehadirannya di Jakarta, Van Mook mendapat tekanan baik dari Sekutu maupun ancaman perlawanan dari pihak revolusioner Indonesia. Oleh karena itu, pada awal kehadirannya Van Mook bersedia untuk melakukan perundingan, meskipun pemerintah Belanda melarangnya untuk bertemu dengan Soekarno. Pada 14 Oktober 1945, Van Mook bersedia bertemu dengan Soekarno dan “kelompok-kelompok Indonesia”. Ia tidak mau menyebut sebagai Republik Indonesia, karena pemerintah Belanda belum mengakui pemerintahan Republik Indonesia.
Dalam pokok pikiran Van Mook menyatakan, bahwa NICA bersedia membangun hubungan ketatanegaraan yang baru dan status Indonesia menjadi “negara dominion” dalam persekutuan “persemakmuran Uni-Belanda”. Demikianlah karena tidak ada titik temu antara Indonesia dan Belanda, Christison tetap berusaha mempertemukan mereka. Pemerintah Belanda diwakili oleh Van Mook dan wakilnya, Charles O. Van der Plas. Indonesia diwakili oleh Soekarno dan Moh. Hatta yang didampingi oleh H. Agus Salim dan Ahmad Subarjo. Dalam pertemuan itu tidak ada hasil yang memuaskan bagi pihak Indonesia. Pihak Belanda masih menginginkan kebijakan politiknya yang lama.
Pada minggu-minggu terakhir Oktober 1945, berbagai insiden dan konfrontasi dengan semakin banyaknya tentara NICA yang datang ke Indonesia. Konfrontasi itu menyebabkan pihak Sekutu ingin segera mengakhiri tugasnya di Indonesia, terlebih ketika aksi-aksi kekerasan terjadi di kota besar di Indonesia, terutama pertempuran sengit di Surabaya. Pihak Sekutu ingin segera meninggalkan Indonesia, tetapi tidak mungkin melepaskan tanggung jawab internasionalnya. Untuk itulah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan itu dengan melakukan perundingan.
Kegagalan dalam perundingan Hooge Veluwe, pada April 1946, menjadikan pemerintah Indonesia untuk beralih pada tindakan militer. Pemerintah Indonesia berpendapat perlu melakukan serangan umum di kedudukan Inggris dan Belanda yang berada di Jawa dan Sumatra. Namun gencatan senjata yang dilakukan dengan cara-cara lama dan gerilya tidak membawa perubahan yang berarti. Resiko yang dihadapi pemerintah semakin tinggi dengan banyaknya korban yang berjatuhan. Untuk mencegah bertambahnya korban pada bulan Agustus hingga September 1946 direncanakan untuk menyusun konsep perang secara defensif.
Bagi Sukarno, Hatta, dan Syahrir perlawanan dengan strategi perang defensif itu lebih beresiko dibandingkan dengan cara-cara lama, karena akan memakan korban lebih banyak lagi. Menurut mereka pengakuan kedaulatan Republik Indonesia lebih baik dilakukan dengan jalan diplomasi. Pada awal November 1946, perundingan diadakan di Indonesia, bertempat di Linggarjati. Pelaksanaan sidang-sidangnya berlangsung pada tanggal 11 - 15 November 1946. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir, anggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Sementara pihak Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn dengan beberapa anggota, yakni Van Mook, F de Boer, dan van Pool.
Sebagai penengah dan pemimpin sidang adalah Lord Killearn, juga ada saksi-saksi yakni Amir Syarifudin, dr. Leimena, dr. Sudarsono, dan Ali Budiardjo. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta juga hadir di dalam perundingan Linggarjati itu. Dalam perundingan itu dihasilkan kesepakatan yang terdiri atas 17 pasal. Isi pokok Perundingan Linggarjati antara lain sebagai berikut:
- Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan secara de facto pemerintahan RI atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatra. Daerah-daerah yang diduduki Sekutu atau Belanda secara berangsur-angsur akan dikembalikan kepada RI;
- Akan dibentuk Negara Indonesia Serikat (RIS) yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia) sebagai negara berdaulat;
- Pemerintah Belanda dan RI akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh raja Belanda;
- Pembentukan NIS dan Uni Indonesia- Belanda diusahakan sudah selesai sebelum 1 Januari 1949;
- Pemerintah RI mengakui dan akan memulihkan serta melindungi hak milik asing;
- Pemerintah RI dan Belanda sepakat untuk mengadakan pengurangan jumlah tentara; dan
- Bila terjadi perselisihan dalam melaksanakan perundingan ini, akan menyerahkan masalahnya kepada Komisi Arbitrase. Naskah persetujuan kemudian diparaf oleh kedua delegasi di Istana Rijswijk Jakarta (sekarang Istana Merdeka).
Isi perundingan itu harus disahkan dahulu oleh parlemen masing-masing (Indonesia oleh KNIP). Untuk meratifikasi dan mengesahkan isi Perundingan Linggarjati, kedua parlemen masih enggan dan belum puas. Pada bulan Desember 1946, Presiden mengeluarkan Peraturan No. 6 tentang penambahan anggota KNIP. Hal ini dimaksudkan untuk memperbesar suara yang pro Perjanjian Linggarjati dalam KNIP. Tanggal 28 Februari 1947 Presiden melantik 232 anggota baru KNIP. Akhirnya isi Perundingan Linggarjati disahkan oleh KNIP pada tanggal 25 Maret 1947, yang lebih dikenal sebagai tanggal Persetujuan Linggarjati.
Setelah Persetujuan Linggarjati disahkan, beberapa negara telah memberikan pengakuan terhadap kekuasaan RI. Misalnya dari Inggris, Amerika Serikat, Mesir, Afganistan, Birma (Myanmar), Saudi Arabia, India, dan Pakistan. Perjanjian Linggarjati itu mengandung prinsip-prinsip pokok yang harus disetujui oleh kedua belah pihak melalui serangkaian perundingan lanjutan. Ketentuan dalam pasal (2) misalnya, menentukan bahwa RI dan Belanda akan bekerja sama untuk membentuk Negara Indonesia Serikat sebagai pengganti Hindia Belanda. Namun, perundingan lanjutan terhambat karena masing-masing pihak menuduh tentaranya melanggar ketentuan gencatan senjata.
Dokumen perjanjian itu pun akhirnya tidak membantu untuk memecahkan masalah bagi kedua belah bangsa. Bahkan memperburuk keadaan. Belanda kemudian mengadakan gencatan senjata operasi militer di Jawa dan Sumatra pada 21 Juli 1947. Belanda menyebut tindakan itu sebagai “actie politioneel” (tindakan kepolisian). Istilah itu berarti “pengamanan dalam negeri” atau yang dimaksud di sini adalah Indonesia. Artinya, Belanda tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia, seperti yang sudah dinyatakan dalam dokumen Linggarjati.
Belanda memberi sandi pada serangan umum itu dengan “Operasi Produk” yaitu operasi yang ditujukan untuk wilayah-wilayah yang dianggap penting secara ekonomi bagi Belanda. Kondisi itu mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengeluarkan resolusi. Ada dua resolusi yang disampaikan oleh PBB. Pertama, menghimbau agar RI dan Belanda segera menghentikan perang dan membentuk Negara Indonesia Serikat, seperti yang diamanatkan dalam perjanjian Linggarjati. Kedua, adalah usulan Amerika agar kedua belah pihak membentuk sebuah tim untuk membantu menyelesaikan masalah itu. Usulan itu kemudian dikenal dengan istilah “Komisi Tiga Negara”.
Komisi Tiga Negara (KTN) itu terdiri atas Australia, yang diwakili oleh Richard C Kirby yang dipilih oleh RI. Belanda memilih Belgia yang diwakili oleh Paul van Zeeland. Amerika diwakili oleh Frank P. Geraham yang dipilih oleh Belgia dan Australia. Hasil dari KTN itu adalah perundingan diadakan kembali oleh Indonesia dan Belanda. Pihak Belanda mengusulkan agar diadakan perundingan di tempat yang netral. Atas jasa Amerika Serikat, maka digunakannya kapal yang mengangkut tentaranya, dengan nama USS Renville didatangkan ke Teluk Jakarta dari Jepang. Tentang perjanjian Renville ini akan dibahas lebih lanjut di bagian berikutnya.
Materi Sejarah Indonesia (Wajib) SMA - 11 IIS Lainnya
Antara Kolonialisme dan Imperialisme
4 Sub Bab Materi
Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme
3 Sub Bab Materi
Zaman Kependudukan Jepang di Indonesia
6 Sub Bab Materi
Indonesia Merdeka
4 Sub Bab Materi
Sumpah Pemuda dan Jati Diri Keindonesiaan
5 Sub Bab Materi
Dampak Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme
3 Sub Bab Materi
footer_v3
Bersama Aku Pintar temukan jurusan kuliah yang tepat
sesuai minat dan bakatmu.
Aku Pintar memiliki visi membuat pendidikan merata, mudah dijangkau, dan terjangkau dengan Program Journey Pintar yang merupakan sebuah program persiapan lengkap bagi siswa SMA/SMK/sederajat yang ingin masuk ke perguruan tinggi impiannya.
Kontak Kami
Grand Slipi Tower Lt. 42
Jl. S. Parman Kav 22-24
Jakarta Barat
© 2024 Aku Pintar. All Rights Reserved