APSiswaNavbarV2

redesain-navbar Portlet

BelajarPintarV3

Sejarah Indonesia (Wajib)

Perjuangan di Awal Kemerdekaan

MATERI

Perundingan Linggarjati (1947)

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/

Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Republik Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda dengan jalan diplomatik. Perjanjian itu melibatkan pihak Indonesia dan Belanda, serta Inggris sebagai penengah. Tokoh-tokoh dalam perundingan itu adalah Letnan Jenderal Sir Philip Christison dari Inggris, seorang diplomat senior serta mantan duta besar Inggris di Uni Soviet, yang kemudian diangkat sebagai duta istimewa Inggris untuk Indonesia. Wakil dari Belanda adalah Dr. H.J. Van Mook. Indonesia diwakili Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan Sjahrir. 

Sebelum perundingan Linggarjati, sudah dilakukan beberapa kali perundingan baik di Jakarta maupun di Belanda. Namun, usaha-usaha untuk mencapai kesepakatan belum memenuhi harapan baik bagi pihak Indonesia maupun bagi pihak Belanda. Usaha itu mengalami kegagalan karena masing-masing pihak mempunyai pendapat yang berbeda. Van Mook adalah orang Belanda yang lahir di Indonesia, yaitu di Semarang. Ia juga seorang penganjur persekutuan sejak tahun 1930-an. Ia termasuk kelompok pendukung gerakan orang Belanda di tanah jajahan Hindia Belanda. Mereka bertujuan untuk menjadikan Hindia Belanda sebagai tanah air mereka dalam bentuk persemakmuran

Atas pandangan itu suatu saat nanti Indonesia menjadi bagiannya sesuai dengan makna politik dan sosialnya sendiri. Atas dasar pemikirannya itu Van Mook berkeinginan keras untuk kembali ke Indonesia. Sebagai seorang Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Van Mook lebih siap menghadapi perubahan situasi daripada pemerintahan yang ada di Negeri Belanda. Namun, ia mendapatkan situasi yang jauh dari perkiraannya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan segala konsekuensinya itu tidak mungkin untuk ditarik kembali. Belanda hanya dapat menolak dan tidak mengakui negeri jajahannya sebagai negara yang berdaulat. 

Pada awal kehadirannya di Jakarta, Van Mook mendapat tekanan baik dari Sekutu maupun ancaman perlawanan dari pihak revolusioner Indonesia. Oleh karena itu, pada awal kehadirannya Van Mook bersedia untuk melakukan perundingan, meskipun pemerintah Belanda melarangnya untuk bertemu dengan Soekarno. Pada 14 Oktober 1945, Van Mook bersedia bertemu dengan Soekarno dan “kelompok-kelompok Indonesia”. Ia tidak mau menyebut sebagai Republik Indonesia, karena pemerintah Belanda belum mengakui pemerintahan Republik Indonesia. 

Dalam pokok pikiran Van Mook menyatakan, bahwa NICA bersedia membangun hubungan ketatanegaraan yang baru dan status Indonesia menjadi “negara dominion” dalam persekutuan “persemakmuran Uni-Belanda”. Demikianlah karena tidak ada titik temu antara Indonesia dan Belanda, Christison tetap berusaha mempertemukan mereka. Pemerintah Belanda diwakili oleh Van Mook dan wakilnya, Charles O. Van der Plas. Indonesia diwakili oleh Soekarno dan Moh. Hatta yang didampingi oleh H. Agus Salim dan Ahmad Subarjo. Dalam pertemuan itu tidak ada hasil yang memuaskan bagi pihak Indonesia. Pihak Belanda masih menginginkan kebijakan politiknya yang lama. 

Pada minggu-minggu terakhir Oktober 1945, berbagai insiden dan konfrontasi dengan semakin banyaknya tentara NICA yang datang ke Indonesia. Konfrontasi itu menyebabkan pihak Sekutu ingin segera mengakhiri tugasnya di Indonesia, terlebih ketika aksi-aksi kekerasan terjadi di kota besar di Indonesia, terutama pertempuran sengit di Surabaya. Pihak Sekutu ingin segera meninggalkan Indonesia, tetapi tidak mungkin melepaskan tanggung jawab internasionalnya. Untuk itulah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan itu dengan melakukan perundingan.

Kegagalan dalam perundingan Hooge Veluwe, pada April 1946, menjadikan pemerintah Indonesia untuk beralih pada tindakan militer. Pemerintah Indonesia berpendapat perlu melakukan serangan umum di kedudukan Inggris dan Belanda yang berada di Jawa dan Sumatra. Namun gencatan senjata yang dilakukan dengan cara-cara lama dan gerilya tidak membawa perubahan yang berarti. Resiko yang dihadapi pemerintah semakin tinggi dengan banyaknya korban yang berjatuhan. Untuk mencegah bertambahnya korban pada bulan Agustus hingga September 1946 direncanakan untuk menyusun konsep perang secara defensif. 

Bagi Sukarno, Hatta, dan Syahrir perlawanan dengan strategi perang defensif itu lebih beresiko dibandingkan dengan cara-cara lama, karena akan memakan korban lebih banyak lagi. Menurut mereka pengakuan kedaulatan Republik Indonesia lebih baik dilakukan dengan jalan diplomasi. Pada awal November 1946, perundingan diadakan di Indonesia, bertempat di Linggarjati. Pelaksanaan sidang-sidangnya berlangsung pada tanggal 11 - 15 November 1946. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir, anggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Sementara pihak Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn dengan beberapa anggota, yakni Van Mook, F de Boer, dan van Pool. 

Sebagai penengah dan pemimpin sidang adalah Lord Killearn, juga ada saksi-saksi yakni Amir Syarifudin, dr. Leimena, dr. Sudarsono, dan Ali Budiardjo. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta juga hadir di dalam perundingan Linggarjati itu. Dalam perundingan itu dihasilkan kesepakatan yang terdiri atas 17 pasal. Isi pokok Perundingan Linggarjati antara lain sebagai berikut: 

  1. Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan secara de facto pemerintahan RI atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatra. Daerah-daerah yang diduduki Sekutu atau Belanda secara berangsur-angsur akan dikembalikan kepada RI; 
  2. Akan dibentuk Negara Indonesia Serikat (RIS) yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia) sebagai negara berdaulat; 
  3. Pemerintah Belanda dan RI akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh raja Belanda; 
  4. Pembentukan NIS dan Uni Indonesia- Belanda diusahakan sudah selesai sebelum 1 Januari 1949;
  5. Pemerintah RI mengakui dan akan memulihkan serta melindungi hak milik asing; 
  6. Pemerintah RI dan Belanda sepakat untuk mengadakan pengurangan jumlah tentara; dan 
  7. Bila terjadi perselisihan dalam melaksanakan perundingan ini, akan menyerahkan masalahnya kepada Komisi Arbitrase. Naskah persetujuan kemudian diparaf oleh kedua delegasi di Istana Rijswijk Jakarta (sekarang Istana Merdeka). 

Isi perundingan itu harus disahkan dahulu oleh parlemen masing-masing (Indonesia oleh KNIP). Untuk meratifikasi dan mengesahkan isi Perundingan Linggarjati, kedua parlemen masih enggan dan belum puas. Pada bulan Desember 1946, Presiden mengeluarkan Peraturan No. 6 tentang penambahan anggota KNIP. Hal ini dimaksudkan untuk memperbesar suara yang pro Perjanjian Linggarjati dalam KNIP. Tanggal 28 Februari 1947 Presiden melantik 232 anggota baru KNIP. Akhirnya isi Perundingan Linggarjati disahkan oleh KNIP pada tanggal 25 Maret 1947, yang lebih dikenal sebagai tanggal Persetujuan Linggarjati. 

Setelah Persetujuan Linggarjati disahkan, beberapa negara telah memberikan pengakuan terhadap kekuasaan RI. Misalnya dari Inggris, Amerika Serikat, Mesir, Afganistan, Birma (Myanmar), Saudi Arabia, India, dan Pakistan. Perjanjian Linggarjati itu mengandung prinsip-prinsip pokok yang harus disetujui oleh kedua belah pihak melalui serangkaian perundingan lanjutan. Ketentuan dalam pasal (2) misalnya, menentukan bahwa RI dan Belanda akan bekerja sama untuk membentuk Negara Indonesia Serikat sebagai pengganti Hindia Belanda. Namun, perundingan lanjutan terhambat karena masing-masing pihak menuduh tentaranya melanggar ketentuan gencatan senjata. 

Dokumen perjanjian itu pun akhirnya tidak membantu untuk memecahkan masalah bagi kedua belah bangsa. Bahkan memperburuk keadaan. Belanda kemudian mengadakan gencatan senjata operasi militer di Jawa dan Sumatra pada 21 Juli 1947. Belanda menyebut tindakan itu sebagai “actie politioneel” (tindakan kepolisian). Istilah itu berarti “pengamanan dalam negeri” atau yang dimaksud di sini adalah Indonesia. Artinya, Belanda tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia, seperti yang sudah dinyatakan dalam dokumen Linggarjati. 

Belanda memberi sandi pada serangan umum itu dengan “Operasi Produk” yaitu operasi yang ditujukan untuk wilayah-wilayah yang dianggap penting secara ekonomi bagi Belanda. Kondisi itu mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengeluarkan resolusi. Ada dua resolusi yang disampaikan oleh PBB. Pertama, menghimbau agar RI dan Belanda segera menghentikan perang dan membentuk Negara Indonesia Serikat, seperti yang diamanatkan dalam perjanjian Linggarjati. Kedua, adalah usulan Amerika agar kedua belah pihak membentuk sebuah tim untuk membantu menyelesaikan masalah itu. Usulan itu kemudian dikenal dengan istilah “Komisi Tiga Negara”

Komisi Tiga Negara (KTN) itu terdiri atas Australia, yang diwakili oleh Richard C Kirby yang dipilih oleh RI. Belanda memilih Belgia yang diwakili oleh Paul van Zeeland. Amerika diwakili oleh Frank P. Geraham yang dipilih oleh Belgia dan Australia. Hasil dari KTN itu adalah perundingan diadakan kembali oleh Indonesia dan Belanda. Pihak Belanda mengusulkan agar diadakan perundingan di tempat yang netral. Atas jasa Amerika Serikat, maka digunakannya kapal yang mengangkut tentaranya, dengan nama USS Renville didatangkan ke Teluk Jakarta dari Jepang. Tentang perjanjian Renville ini akan dibahas lebih lanjut di bagian berikutnya.

Agresi Militer I (1947-1948)

Sumber: https://tirto.id/

Di tengah-tengah upaya mencari kesepakatan dalam pelaksanaan isi Persetujuan Linggarjati, ternyata Belanda terus melakukan tindakan yang justru bertentangan dengan isi Persetujuan Linggarjati. Di samping mensponsori pembentukan pemerintahan boneka, Belanda juga terus memasukkan kekuatan tentaranya. Belanda pada tanggal 27 Mei 1947 mengirim nota ultimatum yang isinya antara lain sebagai berikut. 

  1. Pembentukan Pemerintahan Federal Sementara (Pemerintahan Darurat) secara bersama. 
  2. Pembentukan Dewan Urusan Luar Negeri. 
  3. Dewan Urusan Luar Negeri, bertanggung jawab atas pelaksanaan ekspor, impor, dan devisa; dan 
  4. Pembentukan Pasukan Keamanan dan Ketertiban Bersama (gendarmerie), Pembentukan Pasukan Gabungan ini termasuk juga di wilayah RI. 

Pada prinsipnya Syahrir (yang kabinetnya jatuh Juni 1947) dapat menerima beberapa usulan, tetapi menolak mengenai pembentukan Pasukan Keamanan Bersama di wilayah RI. Tanggal 3 Juli dibentuk kabinet baru di bawah Amir Syarifuddin yang juga tetap menolak pembentukan Pasukan Keamanan Bersama di wilayah RI. Pada tanggal 21 Juli 1947 tengah malam, pihak Belanda melancarkan ‘aksi polisionil’ mereka yang pertama. Pasukan-pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. 

Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan di Jawa. Di Sumatra, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-instalasi minyak dan batu bara di sekitar Palembang dan Padang diamankan. Pasukan-pasukan Republik bergerak mundur dalam kebingungan dan menghancurkan apa saja yang dapat mereka hancurkan. Di beberapa daerah terjadi aksi-aksi pembalasan.Orang-orang Cina di Jawa Barat dan kaum bangsawan yang dipenjarakan di Sumatera Timur dibunuh

Beberapa orang Belanda, termasuk Van Mook ingin melanjutkan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang tidak menyukai ‘aksi polisional’ tersebut menggiring Belanda untuk segera menghentikan peperangan terhadap Republik Indonesia. Ibu kota RI dapat dikurung Belanda. Hubungan ke luar bagi Indonesia juga mengalami kesulitan, karena pelabuhan-pelabuhan telah dikuasai Belanda. Secara ekonomis, Belanda juga berhasil menciptakan kesulitan bagi RI. Daerah-daerah penghasil beras jatuh ke tangan Belanda. 

Hubungan ke luar juga terhambat karena blokade Belanda. Tetapi Belanda belum berhasil menghancurkan mental dan kekuatan Tentara Indonesia yang didukung oleh kekuatan rakyat. Pada tanggal 30 Juli 1947, pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah Indonesia-Belanda dimasukan dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Permintaan itu diterima baik dan dimasukkan dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB. Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah pihak dan mulai berlaku sejak tanggal 4 Agustus 1947

Sementara itu untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Konsuler dengan anggota-anggotanya yang terdiri atas para Konsul Jenderal yang berada di wilayah Indonesia. Komisi Konsuler diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan beranggotakan Konsul Jenderal Cina, Belgia, Perancis, Inggris dan Australia. Komisi Konsuler itu diperkuat dengan personil militer Amerika Serikat dan Perancis sebagai peninjau militer. Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB, Komisi Konsuler menyatakan bahwa tanggal 30 Juli sampai 4 Agustus 1947 pasukan masih mengadakan gerakan militer. 

Pemerintah Indonesia menolak garis demarkasi yang dituntut oleh pihak Belanda berdasarkan kemajuan-kemajuan pasukannya setelah pemerintah melakukan gencatan senjata. Namun penghentian tembak-menembak tidak dimusyawarahkan dan belum ditemukan tindakan yang tepat untuk menyelesaikannya agar jumlah korban bisa dikurangi. Pada tanggal 3 Agustus 1947 Belanda menerima resolusi DK (Dewan Keamanan) PBB dan memerintahkan kepada Van Mook untuk menghentikan tembak-menembak. Pelaksanaannya dimulai pada malam hari tanggal 4 Agustus 1947. Tanggal 14 Agustus 1947, dibuka sidang DK PBB. Dari Indonesia hadir, antara lain Sutan Syahrir. 

Dalam pidatonya, Syahrir menegaskan bahwa untuk mengakhiri berbagai pelanggaran dan menghentikan pertempuran, perlu dibentuk Komisi Pengawas. Pada tanggal 25 Agustus 1947, DK PBB menerima usul Amerika Serikat tentang pembentukan suatu Committee of Good Offices (Komisi Jasa-jasa Baik) atau yang lebih dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN). Belanda menunjuk Belgia sebagai anggota, sedangkan Indonesia memilih Australia. Kemudian Belanda dan Indonesia memilih negara pihak ketiga, yakni Amerika. Komisi resmi terbentuk tanggal 18 September 1947. Australia dipimpin oleh Richard Kirby, Belgia dipimpin oleh Paul Van Zeeland dan Amerika Serikat dipimpin oleh Dr. Frank Graham. 

Ternyata Belanda masih terus berulah, sebelum Komisi Tiga Negara datang di Indonesia. Belanda terus mendesak wilayah dan melakukan perluasan wilayah kedudukannya. Kemudian tanggal 29 Agustus 1947, secara sepihak Van Mook memproklamasikan garis demarkasi Van Mook, menjadi garis batas antara daerah pendudukan Belanda dan wilayah RI pada saat gencatan senjata dilaksanakan. Garis-garis itu pada umumnya menghubungkan titik terdepan posisi Belanda. Menurut garis Van Mook, wilayah RI lebih sedikit dari sepertiga wilayah Jawa, yakni wilayah Jawa Tengah bagian timur, dikurangi pelabuhan-pelabuhan dan perairan laut.

Perjanjian Renville (1948)

Sumber: https://id.m.wikipedia.org/    

Komisi Tiga Negara tiba di Indonesia pada tanggal 27 Oktober 1947 dan segera melakukan kontak dengan Indonesia maupun Belanda. Indonesia dan Belanda tidak mau mengadakan pertemuan di wilayah yang dikuasai oleh salah satu pihak. Oleh karena itu, Amerika Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan di geladak Kapal Renville milik Amerika Serikat. Indonesia dan Belanda kemudian menerima tawaran Amerika Serikat. Perundingan Renville secara resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di kapal Renville yang sudah berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo, orang Indonesia yang memihak Belanda. 

Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Indonesia menyetujui isi Perundingan Renville yang terdiri atas tiga hal sebagai berikut: 

  1. Persetujuan tentang gencatan senjata yang antara lain diterimanya garis demarkasi Van Mook (10 pasal). 
  2. Dasar-dasar politik Renville, yang berisi tentang kesediaan kedua pihak untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara damai (12 pasal). 
  3. Enam pasal tambahan dari KTN yang berisi, antara lain tentang kedaulatan Indonesia yang berada di tangan Belanda selama masa peralihan sampai penyerahan kedaulatan (6 pasal). 

Sebagai konsekuensi ditandatanganinya Perjanjian Renville, wilayah RI semakin sempit dikarenakan diterimanya garis demarkasi Van Mook. Berdasarkan garis demarkasi Van Mook itu wilayah Republik Indonesia tinggal meliputi Yogyakarta dan sebagian Jawa Timur. Dampak lainnya adalah Anggota TNI yang masih berada di daerah-daerah kantong yang dikuasai Belanda, harus ditarik masuk ke wilayah RI di sekitar Yogyakarta. Sebagai contoh pasukan yang berasal dari kesatuan Divisi Siliwangi yang berjumlah sekitar 35.000 orang harus ditarik dan dipindahkan ke wilayah RI. Kemudian sejumlah sekitar 6000 pasukan dari Jawa Timur ditarik masuk ke wilayah RI. Peristiwa inilah yang dikenal dengan peristiwa “hijrah”

Peristiwa “hijrah” ini dimulai tanggal 1 Februari 1948. Pada mulanya para pejuang TNI perjuangan yang berada di pos atau kantong-kantong perjuangan itu tidak mau ditarik mundur ke wilayah RI atas dasar garis Van Mook itu. Mereka berpandangan bahwa mereka tidak kalah perang, tidak perlu dievakuasi. Mereka tidak mau ditarik mundur di belakang garis Van Mook. Sudah tentu ini menjadi problem tersendiri karena sudah menjadi keputusan dalam Perundingan Renville. 

Tampillah Sudirman dengan kepiawaian dan kebapakannya mendekati mereka para anggota TNI itu dengan menegaskan bahwa kita TNI dan para pejuang Indonesia tidak kalah perang, para prajurit tidak dievakuasi, tetapi melakukan hijrah ke tempat yang kondusif untuk melakukan konsolidasi untuk mencapai kemenangan yang lebih besar. Isi Perjanjian Renville mendapat tentangan sehingga muncul mosi tidak percaya terhadap Kabinet Amir Syarifuddin dan pada tanggal 23 Januari 1948, Amir menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden. Dengan demikian perjanjian Renville menimbulkan permasalahan baru, yaitu pembentukan pemerintahan peralihan yang tidak sesuai dengan yang terdapat dalam perjanjian Linggarjati.

Agresi Militer II (1948)

Sumber: https://id.pinterest.com/

Sebelum macetnya perundingan Renville sudah ada tanda-tanda bahwa Belanda akan melanggar persetujuan Renville. Oleh karena itu, pemerintah RI dan TNI sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu Belanda akan melakukan aksi militernya untuk menghancurkan RI dengan kekuatan senjata. Untuk menghadapi kekuatan Belanda, maka dibentuk Markas Besar Komando Djawa (MBKD) yang dipimpin oleh A.H. Nasution dan Hidayat. Seperti yang telah diduga sebelumnya, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresinya yang kedua. 

Sebelum pasukan Belanda bergerak lebih jauh, Van Langen (Wakil Jenderal Spoor) berbisik kepada Van Beek (komandan lapangan agresi II): “overste tangkap Sukarno, Hatta, dan Sudirman, mereka bertiga masih ada di istana”, demikian perintah pimpinan Belanda terhadap Van Beek untuk menangkap dan membunuh ketiga pimpinan nasional kita. Agresi militer II itu telah menimbulkan bencana militer dan politik, baik bagi Belanda maupun Indonesia. Walaupun Belanda tampak memperoleh kemenangan dengan mudah, tetapi sebenarnya membayar cukup mahal. Serangan Belanda ini telah menuai kritik dari berbagai negara. 

Dengan taktik perang kilat, Belanda melancarkan serangan di semua front RI. Serangan diawali dengan penerjunan pasukan-pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo dan dengan cepat berhasil menduduki ibu kota Yogyakarta. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta memutuskan untuk tetap tinggal di ibukota, meskipun mereka tahu akan ditawan musuh. Alasannya, agar mereka dengan mudah ditemui oleh TNI, sehingga kegiatan diplomasi dapat berjalan terus. Di samping itu, Belanda tidak mungkin melancarkan serangan secara terus-menerus, karena Presiden dan Wakil Presiden sudah ada di tangan musuh. 

Sebagai akibat dari keputusan untuk tetap tinggal di ibu kota, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta beserta sejumlah Menteri, Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Suryadarma dan lainnya juga ikut ditawan tentara Belanda. Namun, kelangsungan pemerintahan RI dapat dilanjutkan dengan baik, karena sebelum pihak Belanda sampai di Istana, Presiden Sukarno telah berhasil mengirimkan radiogram yang berisi mandat kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara yang sedang melakukan kunjungan ke Sumatra untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Perintah sejenis juga diberikan kepada Mr. A.A. Maramis yang sedang di India. 

Apabila Syafruddin Prawiranegara ternyata gagal melaksanakan kewajiban pemerintah pusat, maka Maramis diberi wewenang untuk membentuk pemerintah pelarian (Exile Government) di luar negeri. Sementara itu, Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sedang sakit harus dirawat oleh dr. Suwondo selaku dokter pribadinya di rumah di kampung Bintaran. Setelah mendengar Belanda melancarkan serangan, Jenderal Sudirman seperti timbul semangat baru. Ia mengingat janjinya saat mengucapkan sumpah saat dilantik sebagai panglima TNI akan memperjuangkan kedaulatan dan keutuhan NKRI sampai titik darah yang penghabisan. Maka ia bangkit dari tempat tidur dengan berucap: “komando kembali saya ambil alih”

Semua pasukan siap sesuai strategi yang telah direncanakan. Sudirman segera menuju istana Presiden di Gedung Agung. Rencananya untuk mengajak Presiden dan pimpinan yang lain untuk meninggalkan kota untuk bergerilya. Tetapi Presiden Soekarno tidak bersedia dan akan tetap di istana, sehingga akhirnya ditangkap Belanda. Ketika mengetahui Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa pemimpin lainnya ditangkap Belanda, maka Jenderal Sudirman dengan para pengawalnya pergi ke luar kota untuk mengadakan perang gerilya. 

Para ajudan yang menyertai Jenderal Sudirman, antara lain Suparjo Rustam dan Cokropranolo, dr. Suwondo. Sedangkan pasukan di bawah pimpinan Letkol Soeharto terus berusaha menghambat gerak maju pasukan Belanda. Sebelum berangkat ke luar kota Sudirman sempat memerintahkan Kapten Suparjo Rustam untuk menyampaikan sebuah perintah kilat dari panglima melalui RRI Yogyakarta yang ditujukan kepada semua anggota Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), yang konsepnya sudah ditulis tangan sendiri oleh Panglima Besar Sudirman. Isi perintah kilat itu sebagai berikut: 

  1. Kita telah diserang 
  2. Pada tanggal 19 Desember Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo. 
  3. Pemerintah Belanda telah membatalkan Persetujuan Gencatan Senjata 4. Semua angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.

Aksi militer Belanda yang kedua ini ternyata menarik perhatian PBB, karena Belanda secara terang-terangan tidak mengikuti lagi Persetujuan Renville di depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskan oleh PBB. Pada tanggal 24 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB membuat resolusi, agar Republik Indonesia dan Belanda segera menghentikan permusuhan dan membebaskan Presiden RI dan para pemimpin politik yang ditawan Belanda. Kegagalan Belanda di medan pertempuran serta tekanan dari AS yang mengancam akan memutuskan bantuan ekonomi dan keuangan, memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan.

Peran PDRI : Penjaga Eksistensi RI (1948-1949)

Sumber: https://demokratis.co.id/    

Pada saat terjadi agresi militer Belanda II, Presiden Soekarno telah membuat mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintah darurat. Soekarno mengirimkan mandat serupa kepada Mr. Maramis dan Dr. Sudarsono yang sedang berada di New Delhi, India apabila pembentukan PDRI di Sumatra mengalami kegagalan. Namun, Syafruddin berhasil mendeklarasi berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 19 Desember 1948. Susunan pemerintahannya antara lain sebagai berikut: 

  1. Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua merangkap Perdana Menteri, Menteri Pertahanan dan Menteri Penerangan; 
  2. Mr. T.M. Hassan sebagai wakil ketua merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan, dan Menteri Agama; 
  3. Ir. S.M. Rasyid sebagai Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan dan Pemuda; 
  4. Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman; 
  5. Ir. Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan;
  6. Maryono Danubroto sebagai Sekretaris PDRI; 
  7. Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar; 
  8. Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa; dan 
  9. Kolonel Hidayat sebagai Panglima Tentara Teritorial Sumatra.

PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara ternyata berhasil memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan dan menegakkan pemerintah RI. Peranan PDRI itu antara lain sebagai berikut. PDRI dapat berfungsi sebagai mandataris kekuasaan pemerintah RI dan berperan sebagai pemerintah pusat. PDRI juga berperan sebagai kunci dalam mengatur arus informasi, sehingga mata rantai komunikasi tidak terputus dari daerah yang satu ke daerah yang lain. 

Radiogram mengenai masih berdirinya PDRI dikirimkan kepada Ketua Konferensi Asia, Pandit Jawaharlal Nehru oleh Radio Rimba Raya yang berada di Aceh Tengah pada tanggal 23 Januari 1948. PDRI juga berhasil menjalin hubungan dan berbagi tugas dengan perwakilan RI di India. Dari India informasi-informasi tentang keberadaan dan perjuangan bangsa dan negara RI dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia. Terbukalah mata dunia mengenai keadaan RI yang sesungguhnya. 

Konflik antara Indonesia dengan Belanda masih terus berlanjut. Namun semakin terbukanya mata dunia terkait dengan konflik itu, menempatkan posisi Indonesia semakin menguntungkan. Untuk mempercepat menyelesaikan konflik ini maka oleh DK PBB dibentuklah UNCI (United Nations Commission for Indonesia) atau Komisi PBB untuk Indonesia sebagai pengganti KTN. UNCI ini memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding KTN. UNCI berhak mengambil keputusan yang mengikat atas dasar suara mayoritas. UNCI memiliki tugas dan kekuasaan sebagai berikut: 

  1. memberi rekomendasi kepada DK PBB dan pihak-pihak yang bersengketa (Indonesia dan Belanda); 
  2. membantu mereka yang bersengketa untuk mengambil keputusan dan melaksanakan resolusi DK PBB; 
  3. mengajukan saran kepada DK PBB mengenai cara-cara yang dianggap terbaik untuk mengalihkan kekuasaan di Indonesia berlangsung secara aman dan tenteram; 
  4. membantu memulihkan kekuasaan pemerintah RI dengan segera; 
  5. mengajukan rekomendasi kepada DK PBB mengenai bantuan yang dapat diberikan untuk membantu keadaan ekonomi penduduk di daerah-daerah yang diserahkan kembali kepada RI;
  6. memberikan saran tentang pemakaian tentara Belanda di daerah-daerah yang dianggap perlu demi ketentraman rakyat; dan 
  7. mengawasi pemilihan umum, bila di wilayah Indonesia diadakan pemilihan. 

Ketika Presiden, Wakil presiden dan pembesar-pembesar Republik ditawan Belanda di Bangka, delegasi BFO (Bijzonder Federaal Overleg) mengunjungi mereka dan mengadakan perundingan, UNCI mengumumkan bahwa delegasi-delegasi Republik, Belanda dan BFO telah mencapai persetujuan pendapat mengenai akan diselenggarakannya KMB. UNCI juga berhasil menjadi mediator dalam KMB. Bahkan peranan itu juga tampak sampai penyerahan dan pemulihan kekuasaan Pemerintah RI di Indonesia.

Serangan Umum 1 Maret 1949

Sumber: https://id.wikipedia.org/

Pada saat para pemimpin ditangkap, Panglima TNI Jenderal Sudirman memimpin perang gerilya. Beliau dan pasukannya segera meninggalkan kota dan mengatur siasat. Bagaimana peranan TNI setelah agresi militer Belanda II? Apakah mereka masih melakukan perlawanan terhadap Belanda? Pihak Belanda ternyata tidak mau segera menerima resolusi DK PBB, tanggal 28 Januari 1949. Belanda masih mengakui bahwa RI sebenarnya tinggal nama. RI sudah tidak ada, yang ada hanyalah para pengacau. Sementara itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX lewat radio menangkap berita luar negeri tentang rencana DK PBB yang akan mengadakan sidang lagi pada bulan Maret 1949, untuk membahas perkembangan di Indonesia. 

Sri Sultan berkirim surat kepada Jenderal Sudirman tentang perlunya tindakan penyerangan terhadap Belanda. Sudirman minta agar Sri Sultan membahasnya dengan komandan TNI setempat, yakni Letkol Soeharto. Segera penyerangan terhadap Belanda di Yogyakarta dijadwalkan tanggal 1 Maret 1949 dini hari. Pada tanggal 1 Maret 1949 dini hari sekitar pukul 06.00 sewaktu sirine berbunyi sebagai tanda berakhirnya jam malam, serangan umum dilancarkan dari segala penjuru. Letkol Soeharto langsung memegang komando menyerang ke pusat kota. 

Serangan umum ini ternyata sukses. Selama enam jam (dari jam 06.00 - jam 12.00 siang) Yogyakarta dapat diduduki oleh TNI. Setelah Belanda mendatangkan bala bantuan dari Gombong dan Magelang, dapat memukul mundur para pejuang kita. Keberhasilan serangan umum itu, kemudian disebarluaskan melalui RRI gerilya yang ada di Gunung Kidul. 

Berita ini dapat ditangkap oleh PRRI di Sumatra, yaitu Radio Rimba Raya di Aceh kemudian diteruskan ke luar negeri. Walaupun hanya sekitar enam jam pasukan Indonesia berhasil menduduki kota Yogyakarta, namun serangan ini sangat berarti bagi bangsa Indonesia. Terutama ke dunia internasional untuk membuktikan bahwa RI masih ada, tidak seperti yang diberikan oleh Belanda. Selain mengobarkan semangat rakyat kembali juga menunjukkan kepada dunia bahwa negara Indonesia masih mempunyai kekuatan. Pada waktu itu di Yogyakarta ada beberapa wartawan asing yang peranannya sangat besar dalam menginformasikan keadaan Indonesia kepada dunia.

Perjanjian Roem-Royen (1949)

Sumber: https://www.kompas.com/

Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dilancarkan oleh para pejuang Indonesia, telah membuka mata dunia bahwa propaganda Belanda itu tidak benar. RI dan TNI masih tetap ada. Namun Belanda tetap membandel dan tidak mau melaksanakan resolusi DK PBB 28 Januari. Perundingan pun menjadi macet. Melihat kenyataan itu, Amerika Serikat bersikap tegas dan terus mendesak agar Belanda mau melaksanakan resolusi tanggal 28 Januari. Amerika Serikat berhasil mendesak Belanda, untuk mengadakan perundingan dengan Indonesia. 

Ketika terlihat titik terang bahwa RI dan Belanda bersedia maju ke meja perundingan, maka atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia pada tanggal 14 April 1949 diselenggarakan perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, anggota Komisi dari AS. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem dan delegasi Belanda dipimpin oleh H.J. Van Royen. Dalam perundingan itu, RI tetap berpendirian bahwa pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta merupakan kunci pembuka perundingan-perundingan selanjutnya. 

Sebaliknya pihak Belanda menuntut agar lebih dulu dicapai persetujuan tentang perintah penghentian perang gerilya oleh pihak RI. Merle Cochran, wakil dari AS di UNCI mendesak agar Indonesia mau melanjutkan perundingan. Waktu itu Amerika Serikat menekan Indonesia, kalau Indonesia menolak, Amerika tidak akan memberikan bantuan dalam bentuk apa pun. Perundingan segera dilanjutkan pada tanggal 1 Mei 1949. Kemudian pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai Persetujuan Roem-Royen. Isi Persetujuan Roem-Royen antara lain sebagai berikut: 

  1. Pihak Indonesia bersedia mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya. RI juga akan Ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, guna mempercepat penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat (NIS), tanpa syarat. 
  2. Pihak Belanda menyetujui kembalinya RI ke Yogyakarta dan menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik. Belanda juga berjanji tidak akan mendirikan dan mengakui negara-negara yang ada di wilayah kekuasaan RI sebelum Desember 1948, serta menyetujui RI sebagai bagian dari NIS.

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera memerintahkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk mengambil alih pemerintahan Yogyakarta dari pihak Belanda. Pihak tentara dengan penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu, namun Panglima Jenderal Sudirman memperingatkan seluruh komando kesatuan agar tidak memikirkan masalah-masalah perundingan. 

Setelah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang Kabinet RI yang pertama. Pada kesempatan itu, Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden Moh. Hatta. Dalam sidang kabinet juga diputuskan untuk mengangkat Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjadi Menteri Pertahanan merangkap Ketua Koordinator Keamanan.

Konferensi Inter-Indonesia (1949)

Sumber: https://www.dosenpendidikan.co.id/

Belanda tidak berhasil membentuk negara-negara bagian dari suatu negara federal. BFO. Namun di antara para pemimpin BFO banyak yang sadar dan melakukan pendekatan untuk bersatu kembali dalam upaya pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini terutama didorong oleh sukses yang diperoleh para pejuang dan TNI kita dalam perang gerilya. Mereka sadar hanya akan dijadikan alat dan boneka bagi kekuasaan Belanda. Oleh karena itu perlu dibentuk semacam front untuk menghadapi Belanda. Sementara itu, Kabinet Hatta meneruskan perjuangan diplomasi, yaitu menyelesaikan masalah intern terlebih dahulu. 

Beberapa kali diadakan Konferensi Inter-Indonesia untuk menghadapi usaha Van Mook dengan Negara bonekanya. Ternyata hasil Konferensi Inter-Indonesia itu berhasil dengan baik. Walaupun untuk sementara pihak RI menyetujui terbentuknya Negara RIS, tetapi bukan berarti pemerintah RIS tunduk kepada pemerintah Belanda. Pada bulan Juli dan Agustus 1949 diadakan konferensi Inter-Indonesia. Dalam konferensi itu diperlihatkan bahwa politik devide et impera Belanda untuk memisahkan daerah-daerah di luar wilayah RI mengalami kegagalan. Hasil Konferensi Inter-Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta antara lain: 

  1. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan demokrasi dan federalisme; 
  2. RIS akan dikepalai oleh seorang presiden dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada presiden; 
  3. RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik dari RI maupun Belanda; 
  4. Angkatan Perang RIS adalah Angkatan Perang Nasional, dan Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang; dan 
  5. Pembentukan Angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri. 

Dalam konferensi selanjutnya juga diputuskan untuk membentuk Panitia Persiapan Nasional yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil RI dan BFO. Tugasnya menyelenggarakan persiapan dan menciptakan suasana tertib sebelum dan sesudah KMB. BFO juga mendukung tuntutan RI tentang penyerahan kedaulatan tanpa syarat, tanpa ikatan politik maupun ekonomi. Pihak RI juga menyepakati bahwa Konstitusi RIS akan dirancang pada saat KMB di Den Haag.

Konferensi Meja Bundar (1949)

Sumber: https://tirto.id/

Perjanjian Roem Royen belum menyelesaikan masalah Indonesia Belanda. Salah satu agenda yang disepakati Indonesia-Belanda adalah penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Bagaimana pelaksanaan KMB tersebut? Bagaimana kelanjutan perjuangan bangsa Indonesia dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah selesai KMB? Mari kita lacak peristiwa-peristiwa proses pengakuan kedaulatan RI dari Belanda!

Indonesia telah menetapkan delegasi yang mewakili KMB yakni Moh. Hatta, Moh. Roem, Mr. Supomo, Dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamijoyo, Dr. Sukiman, Ir. Juanda, Dr. Sumitro Joyohadikusumo, Mr. Suyono Hadinoto, Mr. AK. Pringgodigdo, TB. Simatupang, dan Mr. Sumardi. Sedangkan BFO diwakili oleh Sultan Hamid II dari Pontianak. KMB dibuka pada tanggal 23 Agustus 1949 di Den Haag. Delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. Van Maarseveen dan dari UNCI sebagai mediator adalah Chritchley. Tujuan diadakan KMB adalah untuk: 

  1. menyelesaikan persengketaan antara Indonesia dan Belanda; dan 
  2. mencapai kesepakatan antara para peserta tentang tata cara penyerahan yang penuh dan tanpa syarat kepada Negara Indonesia Serikat, sesuai dengan ketentuan Persetujuan Renville.

Beberapa masalah yang sulit dipecahkan dalam KMB terutama sebagai berikut. 

  1. Soal Uni Indonesia-Belanda, pihak Indonesia menghendaki agar sifatnya hanya kerja sama yang bebas tanpa adanya organisasi permanen. Sedangkan Belanda menghendaki kerja yang lebih luas dengan organisasi permanen (mengikat). 
  2. Soal utang, pihak Indonesia hanya mengakui utang-utang Hindia Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang. Sementara Belanda menghendaki agar Indonesia mengambil alih semua hutang Hindia Belanda sampai penyerahan kedaulatan, termasuk biaya perang kolonial melawan TNI.
  3. Setelah melalui pembahasan dan perdebatan, tanggal 2 November 1949 KMB dapat diakhiri. Hasil-hasil keputusan dalam KMB antara lain sebagai berikut: 
  4. Belanda mengakui keberadaan negara RIS (Republik Indonesia Serikat) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. RIS terdiri dari RI dan 15 negara bagian/daerah yang pernah dibentuk Belanda. 
  5. Masalah Irian Barat akan diselesaikan setahun kemudian, setelah pengakuan kedaulatan. 
  6. Corak pemerintahan RIS akan diatur dengan konstitusi yang dibuat oleh para delegasi RI dan BFO dalam KMB berlangsung. 
  7. Akan dibentuk Uni Indonesia Belanda yang bersifat lebih longgar , berdasarkan kerja sama secara sukarela dan sederajat. Uni Indonesia Belanda ini disepakati oleh Ratu Belanda. 
  8. RIS harus membayar utang-utang Hindia Belanda sampai waktu pengakuan kedaulatan. 
  9. RIS akan mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda. 

Ada sebagian keputusan yang merugikan Indonesia, yakni beban utang Hindia Belanda yang harus ditanggung RIS sebesar 4,3 miliar gulden. Juga penundaan soal penyelesaian Irian Barat yang merupakan masalah yang menjadi pekerjaan panjang bangsa Indonesia. Tetapi yang jelas bahwa hasil KMB telah memberikan kesempatan yang lebih luas bagi Indonesia untuk membangun negeri sendiri. Setelah KMB selesai dan menghasilkan berbagai keputusan dengan segala cara pelaksanaannya, kemudian Moh. Hatta dan rombongan pada tanggal 7 November 1949 meninggalkan negeri Belanda. Rombongan kemudian singgah ke Kairo dan Rangoon. Tanggal 14 November 1949 Moh. Hatta tiba di Maguwo, Yogyakarta disambut oleh Presiden.

Pembentukan Republik Indonesia Serikat dan Pengakuan Kedaulatan (1949)

Sumber: https://commons.wikimedia.org/    

KMB diterima oleh KNIP melalui sidangnya pada tanggal 6 Desember 1949. Tanggal 14 Desember 1949 diadakan pertemuan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh wakil-wakil Pemerintah RI, pemerintah negara-negara bagian, dan daerah untuk membahas Konstitusi RIS. Pertemuan ini menyetujui naskah Undang-Undang Dasar yang akan menjadi Konstitusi RIS. Negara RIS berbentuk federasi meliputi seluruh Indonesia dan RI menjadi salah satu bagiannya. Bagi RI keputusan ini sangat merugikan, tetapi merupakan strategi agar Belanda segera mengakui kedaulatan Indonesia sekalipun dalam bentuk federasi RIS. 

Dalam konstitusi itu juga dijelaskan bahwa Presiden dan para menteri yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri, secara bersama-sama merupakan pemerintah. Lembaga perwakilannya terdiri atas dua kamar, yakni Senat dan DPR. Senat merupakan perwakilan negara/daerah bagian yang masing-masing diwakili dua orang. Kemudian, DPR beranggota 150 orang yang merupakan wakil-wakil seluruh rakyat Indonesia. Pada tanggal 16 Desember 1949, Ir. Soekarno terpilih sebagai Presiden RIS. Secara resmi Ir. Soekarno dilantik sebagai Presiden RIS tanggal 17 Agustus 1949, bertempat di Bangsal Siti Hinggil Keraton Yogyakarta oleh Ketua Mahkamah Agung, Mr. Kusumah Atmaja, dan Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri. 

Tanggal 20 Desember 1949 Kabinet Moh. Hatta dilantik. Dengan demikian terbentuk Pemerintahan RIS. Dengan diangkatnya Soekarno sebagai Presiden RIS, maka presiden RI menjadi kosong. Untuk itu, ketua KNIP, Mr. Assaat ditunjuk sebagai pejabat Presiden RI. Tanggal 27 Desember 1949 Mr. Asaat dilantik sebagai pemangku jabatan Presiden RI sekaligus dilakukan acara serah terima jabatan dari Soekarno kepada Mr. Assaat. Langkah ini diambil untuk mempertahankan kelangsungan negara RI. Apabila sewaktu-waktu RIS bubar, maka RI akan tetap bertahan, karena memiliki kepala negara.

Pada tanggal 27 Desember 1949, terjadilah penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia yang dilakukan di Belanda dan di Indonesia. Di Negeri Belanda, delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Hatta sedangkan pihak Belanda hadir Ratu Juliana, Perdana Menteri Willem Drees, dan Menteri Seberang Lautan Sasseu bersama-sama menandatangani akta penyerahan kedaulatan di Ruang Tahta Amsterdam. Di Indonesia dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.J. Lovink. Dengan berakhirnya KMB itu, berakhir pula perselisihan Indonesia Belanda. Indonesia kemudian mendapat pengakuan dari negara-negara lain. 

Pengakuan pertama datang dari negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab, yaitu Mesir, Suriah, Lebanon, Saudi Arabia, Afganistan, India, dan lain-lain. Untuk perkataan “penyerahan kedaulatan” itu oleh pihak Indonesia diartikan sebagai “pengakuan kedaulatan”, walaupun pihak Belanda tidak menyetujui dengan perkataan tersebut. Namun, dalam kenyataan oleh masyarakat internasional diakuinya keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Walaupun Belanda sendiri tidak mengakui 

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan hanya mengakui tanggal 27 Desember 1949, namun keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu tetap terhitung sejak Proklamasi Kemerdekaan oleh bangsa Indonesia. Pada saat itu bangsa Indonesia tidak menghadapi Belanda, melainkan menghadapi Jepang, karena sebelumnya Belanda sudah kalah dan menyerah pada Jepang. Oleh karena itu, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia mutlak atas usaha bangsa Indonesia sendiri.

Kembali ke Negara Kesatuan (1950)

 

Sumber: https://artikelsiana.com/

Setelah RIS menerima pengakuan kedaulatan, segera muncul rasa tidak puas di kalangan rakyat terutama negara-negara bagian di luar RI. Sejumlah 15 negara bagian/daerah yang merupakan ciptaan Belanda, terasa berbau kolonial, sehingga belum merdeka sepenuhnya. Negara-negara bagian ciptaan Belanda adalah sebagai berikut. 

  1. Negara Indonesia Timur (NIT) merupakan negara bagian pertama ciptaan Belanda yang terbentuk pada tahun 1946. 
  2. Negara Sumatra Timur, terbentuk pada 25 Desember 1947 dan diresmikan pada tanggal 16 Februari 1948.
  3. Negara Sumatera Selatan, terbentuk atas persetujuan Van Mook pada tanggal 30 Agustus 1948. Daerahnya meliputi Palembang dan sekitarnya. Presidennya adalah Abdul Malik. 
  4. Negara Pasundan (Jawa Barat). 
  5. Negara Jawa Timur, terbentuk pada tanggal 26 November 1948 melalui surat keputusan Gubernur Jenderal Belanda. 
  6. Negara Madura, terbentuk melalui suatu plebisit dan disahkan oleh Van Mook pada tanggal 21 Januari 1948. 

Di samping enam negara bagian tersebut, Belanda masih menciptakan daerah-daerah yang berstatus daerah otonom. Daerah-daerah otonom yang dimaksud adalah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar (daerah Kalimantan Tengah), Daerah Banjar (Kalimantan Selatan), Kalimantan Tenggara, Jawa Tengah, Bangka, Belitung, dan Riau Kepulauan. Setelah pengakuan kedaulatan tuntutan bergabung dengan negara RI semakin luas. Tuntutan semacam ini memang dibenarkan oleh konstitusi RIS pada pasal 43 dan 44. 

Penggabungan antara negara/daerah yang satu dengan daerah yang lain dimungkinkan karena dikehendaki rakyatnya. Oleh karena itu, pada tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan DPR dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang, Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 11 itu, maka negara-negara bagian atau daerah otonom seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura bergabung dengan RI di Yogyakarta. Karena semakin banyaknya negara-negara bagian/daerah yang bergabung dengan RI maka sejak tanggal 22 April 1950, negara RIS hanya tinggal tiga yakni RI sendiri, Negara Sumatera Timur, dan Negara Indonesia Timur. 

Perdana Menteri RIS, Moh. Hatta mengadakan pertemuan dengan Sukawati (NIT) dan Mansur (Sumatera Timur). Mereka sepakat untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sesuai dengan usul dari DPR Sumatra Timur, proses pembentukan NKRI tidak melalui penggabungan dengan RI tetapi penggabungan dengan RIS. Setelah itu diadakan konferensi yang dihadiri oleh wakil-wakil RIS, termasuk dari Sumatra Timur dan NIT. Melalui konferensi itu akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 tercapai persetujuan yang dituangkan dalam Piagam Persetujuan. Isi pentingnya adalah : 

  1. Kesediaan bersama untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RI yang berdasarkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945; dan 
  2. Penyempurnaan Konstitusi RIS, dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945. Untuk ini diserahkan kepada panitia bersama untuk menyusun Rencana UUD Negara Kesatuan. 

Panitia bersama juga ditugaskan untuk melaksanakan isi Piagam Persetujuan 19 Mei 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, pihak KNIP RI menyetujui Rancangan UUD itu menjadi UUD Sementara. Kemudian, tanggal 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS mengesahkan Rancangan UUD Sementara KNIP, menjadi UUD yang terkenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950. Pada tanggal 15 Agustus 1950 diadakan rapat gabungan parlemen (DPR) dan Senat RIS. 

Dalam rapat gabungan ini Presiden Soekarno membacakan Piagam Persetujuan terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu, Presiden Sukarno terus ke Yogyakarta untuk menerima kembali jabatan Presiden Negara Kesatuan dari pejabat Presiden RI, Mr. Assaat. Dengan demikian, berakhirlah riwayat hidup negara RIS, dan secara resmi tanggal 17 Agustus 1950 terbentuklah kembali Negara Kesatuan RI. Sukarno kembali sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden RI.

1.

Pilihlah jawaban yang benar!

Wilayah Indonesia yang diakui oleh Belanda berdasarkan Hasil dari perundingan Linggarjati adalah .…


A. Jawa, Sumatra, Kalimantan
B. Jawa, Sumatra, Sulawesi
C. Jawa Tengah, Jogja, Sumatra
D. Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat
E. Sumatra, Jawa, Madura

JAWABAN BENAR

E.

Sumatra, Jawa, Madura

PEMBAHASAN

Wilayah Indonesia berdasarkan hasil perundingan Linggarjati semakin menyempit yakni Sumatra, Jawa, Madura.

2.

Pilihlah jawaban yang benar!

Wilayah Indonesia yang diakui oleh Belanda berdasarkan Hasil dari perundingan Renville adalah …


A. Jawa, Sumatra, Kalimantan
B. Jawa, Sumatra, Sulawesi
C. Jawa Tengah, Yogyakarta, Sumatra
D. Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat
E. Sumatra, Jawa, Madura

JAWABAN BENAR

C.

Jawa Tengah, Yogyakarta, Sumatra

PEMBAHASAN

Wilayah Indonesia berdasarkan Perundingan Renville terdiri dari Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra.

3.

Pilihlah jawaban yang benar!

Perjanjian Roem-Royen terjadi pada tanggal ….


A. 23 Agustus 1949
B. 14 April 1949
C. 25 Maret 1947
D. 7 Mei 1949
E. 10 November 1945

JAWABAN BENAR

B.

14 April 1949

PEMBAHASAN

Perundingan antara Mr Roem dengan Mr. Royen terjadi pada tanggal 14 April 1949.

4.

Pilihlah jawaban yang benar!

KMB dimulai di Den Haag Belanda pada tanggal …


A. 23 Agustus 1949
B. 14 April 1949
C. 25 Maret 1947
D. 7 Mei 1949
E. 10 November 1945

JAWABAN BENAR

A.

23 Agustus 1949

PEMBAHASAN

KMB berlangsung di Den Haag Belanda pada tanggal 23 Agustus 1949.

5.

Pilihlah jawaban yang benar!

Pemimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar adalah adalah …


A. Sultan Hamid II
B. Mr. Roem
C. Syafrudin Prawiranegara
D. Moh. Hatta
E. M. Natsir

JAWABAN BENAR

D.

Moh. Hatta

PEMBAHASAN

Delegasi Indonesia dalam KMB dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta.

6.

Jawablah soal berikut ini!

Perundingan Linggarjati yang diadakan pada tahun 1947 memiliki dampak besar terhadap eksistensi wilayah Republik Indonesia. Dampak utama dari perundingan ini adalah.....


A. Wilayah Republik Indonesia hanya meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura sebagai hasil perundingan.
B. Perundingan ini menyebabkan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia secara penuh dan menyeluruh.
C. Perundingan ini menghasilkan pengakuan Belanda terhadap wilayah Indonesia yang sangat terbatas dan terbatas.
D. Wilayah Indonesia yang diakui Belanda mencakup seluruh Sumatra, Jawa, Madura, dan beberapa wilayah Kalimantan.
E. Perundingan Linggarjati mengakhiri konflik militer antara Indonesia dan Belanda secara total dan final.

JAWABAN BENAR

A.

Wilayah Republik Indonesia hanya meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura sebagai hasil perundingan.

PEMBAHASAN

Perundingan Linggarjati pada tahun 1947 menghasilkan kesepakatan yang mengakui kedaulatan de facto Republik Indonesia atas wilayah yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. Belanda mengakui Indonesia secara terbatas, sementara daerah lainnya tetap berada di bawah kontrol Belanda.

7.

Jawablah soal berikut ini!

Peran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang terbentuk pada tahun 1948 sangat penting dalam mempertahankan eksistensi negara Indonesia. Peran utama PDRI adalah....


A. Menjaga keberlangsungan pemerintahan Indonesia saat pemerintah pusat berada dalam kondisi genting.
B. Menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Asia dan Afrika untuk mendapatkan dukungan.
C. Mengorganisir perjuangan rakyat melalui gerakan bawah tanah di wilayah pendudukan Belanda.
D. Memobilisasi dukungan internasional melalui perjanjian dengan negara-negara Barat.
E. Mengatur strategi militer untuk menghadapi serangan lanjutan dari pihak sekutu Belanda.

JAWABAN BENAR

A.

Menjaga keberlangsungan pemerintahan Indonesia saat pemerintah pusat berada dalam kondisi genting.

PEMBAHASAN

Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk untuk menjaga kelangsungan pemerintahan Indonesia selama pemerintah pusat terpaksa mengungsi akibat Agresi Militer Belanda II. PDRI berfungsi sebagai representasi pemerintahan yang sah dari Republik Indonesia.

redesain-navbar Portlet