APSiswaNavbarV2

redesain-navbar Portlet

kampus_pintar_v3

Belajar Seni di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya

avatar penulis

Anggi Maulinda

12 October 2018

header image article

Photo by Chaitanya Tvs on Unsplash

Belajar Seni di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya

Berdiri sejak 1981, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya ikut berpartisipasi dalam pengembangan seni di Jawa Timur. Kiprahnya tidak hanya menghasilkan seniman yang jago seni tradisional. Mereka juga diajak berpikir global.

Pada 2018, STKW Surabaya akan punya gawe. Yakni, Festival Kesenian Indonesia. Festival yang dihelat dua tahun sekali itu diselenggarakan sembilan perguruan tinggi seni di Indonesia. Beragam kegiatan bakal diadakan pada event tersebut.

Pembantu Ketua II Bidang Sarana dan Kerja Sama STKW Surabaya Arif Rofiq menyatakan, poin penting dalam perhelatan itu adalah ekshibisi antar perguruan tinggi seni. Ada seminar nasional dan internasional. Ada juga pameran karya dan pawai. ’’Ini juga menunjukkan kepada masyarakat tentang eksistensi perguruan tinggi seni di Indonesia,’’ katanya.

STKW Surabaya, kata Arif, ikut menjaga dan mengembangkan seni di Indonesia. Terutama di Jawa Timur. Secara tidak langsung, jelas dia, kampusnya juga terlibat sebagai konsultan. Terutama dalam berbagai festival kesenian yang diselenggarakan. Baik di tingkat lokal maupun nasional.

Festival musik daerah, misalnya. STKW Surabaya ikut berkiprah memberikan pertimbangan. Misalnya, membuat komposisi musik yang enak didengar atau ditonton. Demikian juga karya tari. Para praktisi di kampus di Jalan Klampis Anom tersebut ikut memberikan masukan agar pertunjukan bisa memukau.

Para dosen juga membantu persiapan pameran. Mahasiswanya turut dilibatkan. Para mahasiswa, terang Arif, juga menjadi kekuatan daerah dalam hal seni. Mereka menunjukkan dan mengkreasikan seni daerah.

Bagi seseorang yang belajar seni, terbuka peluang untuk tiga kelompok profesi. Yaitu, aktor seni, kreator, dan pengamat atau kritikus. Di jurusan tari, misalnya, seseorang bisa memosisikan dirinya sebagai penari. Menari dengan baik, mulai tari tradisional hingga kontemporer. ’’Itu berarti menjadi aktor seni,’’ ujarnya.

Ada pula seseorang yang memiliki penalaran yang bagus. Dia bisa menjadi pemikir dan menciptakan karya atau produk baru. Mereka dapat menjadi koreografer atau komposer yang menciptakan karya baru. Artinya, mahasiswa berpeluang menjadi kreator, kritikus, atau pengamat seni. ’’Kritikus seni ini yang sangat diperlukan karena masih sangat jarang,’’ terang laki-laki yang juga kepala UPT Pemberdayaan Lembaga Seni Wilwatikta tersebut.

Karena itu, dia mendorong para mahasiswa aktif mengisi ruang-ruang yang masih kosong. Posisi kritikus dan pengamat seni itu masih sangat terbuka. ’’Kita hampir tidak punya,’’ ungkapnya. Jika posisi tersebut tidak diisi, pengamat atau kritikus seni dapat menjadi orang-orang yang mahal dan langka. Di negara maju, sangat banyak kritikus dan pengamat seni.

Para kritikus dan pengamat seni itu memberikan pandangan atau pemikiran tentang suatu karya seni. Dalam seni pertunjukan, misalnya, pengamat akan menyampaikan konten di pertunjukan tersebut. ’’Karena seni dekat dengan dunia simbolis,’’ tuturnya.

Sementara itu, sudah lumayan banyak kritikus atau pengamat untuk pameran dan karya puisi. ’’Mereka mengamati, kekuatan karyanya apa,’’ jelasnya.

Kurangnya pengamat atau kritikus seni, kata Arif, terjadi akibat beberapa hal. Seorang pengamat, jelas dia, tidak lepas dari objek pengamatan. Pengamat harus memiliki referensi. Tidak hanya menulis dan membaca, tetapi juga harus melihat. ’’Dibutuhkan orang yang suka keluyuran mengamati seni sekaligus orang yang diam untuk membaca,’’ paparnya.

Di tengah masyarakat yang gencar literasi, kurangnya kritikus seni itu patut disayangkan. ’’Saya kira ini menjadi kegundahan tersendiri,’’ tandasnya

https://www.jawapos.com/pendidikan/15/04/2017/belajar-seni-di-sekolah-tinggi-kesenian-wilwatikta-stkw-surabaya