Daring? No Problem! Pustaka Wali, Solusi Prestasi Siswa di Masa Pendidikan Berbasis Virtual
APSiswaNavbarV2
Tesssss Tesssss
CssBlog
redesain-navbar Portlet
metablog-web Portlet
Blog
Photo by V on Unsplash
“Daring? No problem!” menjadi sebuah ungkapan yang sangat cocok untuk melihat bagaimana pendidikan selama dua tahun terakhir ini. Pembelajaran yang semula tatap muka mengalami naik-turun, pasang-surut, suka-duka karena menjadi daring. Berbagai persoalan seketika dihadapi anak dan orang tua yang sebelumnya tidak terbiasa dengan dunia digital.
Tentu tahun 2020-2021 menjadi tahun yang cukup berat untuk masyarakat Indonesia. Berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial, budaya, dan pariwisata, terdampak secara signifikan. Bidang pendidikan, terutama siswa, menjadi salah satu yang sangat terdampak.
Menurut data WHO, per tanggal 14 Juli 2020 terdapat 215.539 kasus baru, 12.768.307 kasus terkonfirmasi, dan 566.654 kasus orang meninggal. Sedangkan data sebaran di Indonesia, per tanggal 14 Juli 2020 terdapat 76.981 kasus terkonfirmasi, 36.636 dalam perawatan, 36.689 sembuh, dan 3.656 kasus orang meninggal (Covid.go.id/peta-sebaran, diakses pada 14 Juli 2020). Data ini menjadi penguat pemerintah memaksa siswa untuk study from home dengan sistem pendidikan jarak jauh.
Berbagai kebijakan pemerintah tentang pendidikan jarak jauh dengan sistem daring ternyata tidak serta-merta membuat siswa mudah belajar lantaran berbagai faktor. Pertama, banyak siswa yang tidak punya kuota internet karena perekonomian orang tua semakin seret setiap bulannya. Bahkan tak jarang orang tua mengalami pemutusan hubungan kerja. Meskipun banyak siswa mendapatkan paket kuota internet secara gratis dari pemerintah, ternyata tak semua siswa mendapatkannya karena berbagai sebab. Belum lagi, kuota data internet dari pemerintah ini tidak bisa digunakan untuk mengakses berbagai konten yang digunakan guru. Dampaknya siswa tidak bisa mengikuti pembelajaran dengan baik.
Banyak siswa yang akhirnya lebih suka nongkrong di warung kopi, berjam-jam dan berhari-hari. Bahkan niatan awal belajar mencari WiFi gratis di warung kopi menjadi budaya nongkrong. Mereka yang awalnya berniat belajar menjadi ambyar karena tidak ada pengawasan dari orang tua secara baik. Teman bergaul pun hanya sekadar ngopi dan ngopi, ngobrol dan ngobrol tak jelas.
Pandemi yang sudah berjalan selama 1,8 bulan ini ternyata lambat laun membuat kemampuan siswa dalam berliterasi semakin melemah. Siswa tidak lagi cakap belajar membaca, memahami berbagai data yang ditugaskan guru. Apalagi banyak juga guru yang belum siap mengajar di masa pandemi. Mereka hanya mengirim artikel dari internet atau presentasi materi belajar melalui Google Classroom. Karena banyak siswa tidak memahami materi pelajaran yang diberikan, mereka semakin malas belajar.
Pandemi Covid-19 juga memaksa siswa hanya tinggal di rumah, bermain ponsel dari pagi sampai malam, tanpa pernah bersosialisasi dengan sesama. Dampaknya akhir-akhir ini banyak anak menjadi generasi introver, bahkan ada yang mencapai gangguan kepribadian schizoid. Anak schizoid menjadi sangat individualistis dan menikmati kesendirian bersama ponselnya. Banyak pula siswa yang mencapai tahap nomophobia.
Siswa di desa pun menghadapi persoalan yang sama beratnya dengan siswa di perkotaan. Apalagi secara ekonomi siswa di desa lebih kekurangan, dan ketersediaan sinyal di pedesaan sangat terbatas.
Belum lagi di masa pandemi Covid-19 ini banyak orang tua atau saudara yang meninggal dunia. Tentu hal ini sedikit banyak berdampak pada psikologis siswa, membuatnya malas belajar, menjadi pribadi penyendiri, hingga merasa sakit secara jasmani. Ditambah pula, semua warga dituntut untuk tinggal di rumah selama masa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Tak ada lagi ibadah di masjid, kedekatan kepada Allah semakin lemah.
Dampak-dampak ini sungguh terakumulasi menjadi generasi gagap masa depan, generasi yang enggan berbicara prestasi, generasi yang sulit didefinisikan baik secara pengetahuan dan moral. Untuk itu, perlu ada solusi yang bisa membuat anak-anak kembali ke jalur yang benar, menjadi generasi yang pintar seperti sebelum pandemi Covid-19. Solusi yang tepat guna diharapkan mampu mengembalikan kemampuan dan semangat belajar mereka.
Di bulan Oktober 2021, sudah banyak wilayah yang berada di level 1 PPKM sehingga sekolah sudah bisa dibuka dengan kapasitas 50%. Adanya tempat belajar, bermain, dan bersosialisai mampu menjadi penenang hati untuk anak-anak sekolah.
Maka penulis berinisiatif menciptakan tempat belajar bernama 'Pustaka Wali sebagai Solusi Siswa Prestasi di Masa Pandemi Covid-19.' Pustaka Wali ini berbasis di masjid, yang merupakan pusat dari kegiatan masyarakat berbasis keagamaan. Di masyarakat pedesaan, masjid merupakan pusat pendidikan nonformal yang diminati masyarakat. Selain sebagai tempat beribadah, masjid di pedesaan juga menjadi tempat untuk menuntut ilmu.
Lalu bagaimanakah konsep Pustaka Wali itu? Pustaka Wali sendiri merupakan akronim dari kata Pustaka (Pusat Aktivitas Anak) dan Wali (WiFi, amalkan ilmu, learning, dan ibadah). Berikut maksud dari istilah Pustaka Wali sebagai Solusi Siswa Prestasi di Masa Pandemi Covid-19.
Pustaka adalah akronim dari Pusat Aktivitas Anak. Pandemi Covid -19 yang telah berjalan cukup lama, hampir 1,5 tahun, telah banyak merengut nyawa. Tak sedikit dari orang tua siswa, saudara, dan teman yang meninggal, sehingga mereka mengalami banyak beban psikologis, rasa takut, hingga rasa bersalah. Dampaknya mereka menjadi pribadi yang pemurung dan sulit bergaul.
Menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas akan sangat bermanfaat bagi siswa. Karena sekolah belum bisa menerapkan pembelajaran dengan kapasitas 100%, kehadiran masjid sebagai pusat belajar memiliki keuntungan secara psikis dan fisik. Disamping itu, perpustakaan di setiap masjid menjadi solusi terbaik agar anak-anak lebih nyaman berada di masjid, yang tak hanya sebagai pusat ibadah tapi juga sebagai pusat belajar. Menjadikan masjid sebagai studi pustaka di setiap desa akan membuat siswa betah di masjid.
Salah satu persoalan pembelajaran jarak jauh adalah ketersediaan kuota internet. Masjid sebagai pusat pendidikan dan pusat pelayanan masyarakat seharusnya menjadi solusi atas persoalan yang dihadapi anak-anak di desa. Mengapa anak-anak dan remaja selama ini lebih gemar ke warung kopi daripada ke masjid? Tentu salah satu penyebabnya adalah ketersediaan WiFi.
Inilah yang harus menjadi pemikiran bersama, bagaimana agar siswa sekolah yang selama ini banyak nongkrong di warung kopi mau bergabung dan beraktivitas di masjid dengan bonus WiFi gratis. Tentu jika dikemas secara baik, masyarakat tidak akan keberatan menjadi donatur dan berinfaq membiayai WiFi gratis untuk anak-anak.
Pemberian WiFi gratis tentu dengan syarat. Misalnya, anak akan mendapatkan password WiFi gratis setelah ikut sholat berjamaah di masjid, kemudian ikut mengaji. Dengan begitu, mereka akan turut memakmurkan masjid.
WiFi gratis juga memungkinkan mereka untuk mengerjakan setiap tugas sekolah dengan baik, tanpa merasa berkecil hati tidak mendapatkan kuota internet atau tidak ada sinyal di desanya. Selain itu, mereka akan tergerak untuk memiliki aktivitas positif dari kebiasaan nongkrong di warung kopi menuju masjid sebagai pusat pendidikan.
Langkah ketiga yaitu membuat komunitas yang berbasis pendidikan. Masjid sendiri selama ini sudah ada pengurus, pemuda atau remaja masjid, maupun jamaah dari berbagai kalangan dan usia. Mereka bisa menjadikan kegiatan yang berpusat di Pustaka masjid sebagai ladang amal.
Anak yang sudah kuliah bisa mengajari adik-adiknya yang masih SMA, sedangkan anak SMA bisa mengajari yang masih SMP. Begitu juga mereka yang SMP bisa mengajari yang SD. Selain mengikuti aktivitas yang positif, berbagi ilmu untuk kemajuan bersama, mereka juga akan mendapatkan pahala dari kegiatan yang dilakukan. Alhasil, aktivitas di masjid menjadi semakin bermakna.
Tentu gerakan ini akan meringankan beban orang tua yang kurang berpendidikan. Lagipula, waktu mereka sudah banyak tersita untuk bekerja. Mereka akan merasa nyaman karena anak-anak berada di tempat yang tepat, mendapatkan pembinaan secara baik dari remaja masjid maupun pemuda masjid yang sedang libur sekolah atau libur kerja.
Learning dapat diartikan sebagai pembelajaran. Dengan mereka aktif di masjid, maka masjid menjadi pusat belajar berbagai ilmu, baik sekolah, religius, sosial, maupun kemasyarakatan. Sebagai pusat pendidikan, masjid ditunjang dengan pustaka yang bagus, berbagai buku, WiFi gratis, serta pembinaan dari berbagai kalangan. Dengan demikian, aktivitas di masjid menjadi pusat pembelajaran yang bermakna untuk semua anak di desa.
Siswa yang selama ini banyak bermain ponsel saat tidak berada di sekolah, kini mulai bersosialisasi dengan masyarakat dan lingkungan tanpa banyak menggunakan ponsel lagi. Suasana belajar di masjid memungkinkan proses belajar dua arah, antara satu anak dengan anak lain. Mereka bisa saling menberikan solusi atas tugas-tugas yang belum dipahami. Tentu suasana seperti ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan ketika mereka di rumah sendirian.
Langkah terakhir adalah masjid sebagai pusat segala aktivitas. Masjid menjadi pusat ibadah, pusat segala solusi karena dengan beribadah dan berdoa maka berbagai persoalan batiniah yang selama ini dihadapi siswa akan bisa terselesaikan dengan baik. Sebagai pusat peribadatan yang paling baik untuk menghadap Allah, tentu harapannya di masjid lah siswa yang mengalami berbagai persoalan akan bisa segera mendapatkan jalan keluar.
Menjadikan masjid sebagai pusat prestasi bagi siswa di masa pandemi Covid-19 adalah jalan terbaik. Masjid pada hakikatnya adalah pusat berbagai aktivitas manusia, mulai dari peribadatan, musyawarah, pendidikan, pusat pelatihan, aktivitas sosial, dan tentu menjadi penyembuh bagi penyakit psikologis masyarakat di masa pandemi Covid-19. Dengan menemukan solusi ini, maka pembelajaran secara virtual tidak lagi menjadi persoalan bagi siswa. Menemukan solusi di era keterbatasan adalah langkah terbaik daripada selalu menyalahkan keadaan.
Daftar Pustaka
https://kominfo.go.id/content/detail/27285/kasus-terkonfirmasi-positif-covid-19- bertambah-862-pasien-sembuh-naik-jadi-18404- orang/0/virus_corona, diakses 3 oktober 2021.
Yani, Ahmad. 2020. Panduan Mengelola Masjid Sebagai Pusat Kegiatan Umat. Jakarta: Pustaka Informasi.
ArtikelTerkaitV3
Ini Dia Alasan Mengapa Tes Minat Bakat Jurusan SMK Penting B
Daftar 40+ Jurusan SMK di Indonesia Sobat Pintar, tahukah kamu bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 40 jurusan SMK yang bisa kamu ambil? Tentu kamu harus memilih jurusan yang sesuai dengan skill yang kamu minati. Untuk memberikan kamu referensi menge...
Baca Selengkapnya
Program Pendidikan Profesi Guru (PPG): Melahirkan Guru Profe
Tentang Program Pendidikan Profesi (PPG) Sobat Pintar, Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah program studi yang dirancang untuk mempersiapkan lulusan S1 Kependidikan dan S1/DIV Non Kependidikan menjadi guru profesional. Program ini bertujuan meng...
Wajib Diperhatikan! Ini Daftar 10+ Alasan dan Motivasi Saat
Tentang OSIS: Sejarah Singkat dan Kepengurusan Organisasi Siswa Intra Sekolah atau OSIS adalah organisasi resmi di dalam sekolah. Organisasi ini sudah ada sejak tahun 1923 dengan nama PPIB (Perhimpunan Pelajar Indonesia Baru). Lalu pada tahun 1964, PPIB ...
Hai Sobat Pintar,
Yuk Cobain Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!
Jutaan siswa sudah menemukan minat, bakat dan kampus impian bersama Aku Pintar. Sekarang giliran kamu Sobat!
BannerPromoBlog