Mengenal Konsep Labeling dalam Belajar
APSiswaNavbarV2
Tesssss Tesssss
CssBlog
redesain-navbar Portlet
metablog-web Portlet
Blog
apa itu labeling, Photo by Vi Tran on Unsplash
Teori labeling (atau labelling) mungkin masih terdengar asing bagi sebagian kita. Teori labelling pada awalnya memang berkembang sebagai sebuah teori sosiologi pada tahun 1963. Kalau begitu, bagaimana penerapan teori labeling dalam pembelajaran? Mari, Guru Pintar, kita pelajari teori ini agar dapat digunakan dan membantu meningkatkan pembelajaran di kelas.
Â
Photo by JASUR JIYANBAEV on Unsplash
Tak kenal maka tak paham. Oleh sebab itu, kita berangkat dari perkenalan dahulu tentang teori labelling atau labelling theory. Jadi, apa itu labeling?
Singkatnya, teori labelling adalah pemberian julukan, cap, atau label kepada seseorang yang melakukan penyimpangan sosial. Sebelumya telah disebutkan bahwa teori labeling berkembang dari sebuah teori sosiologi, tepatnya sociology of deviance, yang diciptakan oleh Howard Becker.
Di dunia pendidikan, siswa menjadi pihak yang diberi julukan, cap, atau label. Kalau begitu, apa itu labelling pada siswa? Labeling pada siswa adalah pemberian julukan, cap, atau label terkait dengan kemampuannya, potensinya, atau perilakunya.
Dalam buku Deviance in Classrooms yang ditulis oleh Hargreaves, Hester, dan Mellor, dijelaskan bagaimana labeling pada siswa terjadi. Pertama-tama, guru membuat spekulasi berdasarkan kesan pertama yang diperolehnya melalui penampilan, kemampuan, dan antusiasme siswa serta relasinya dengan teman-teman sekelasnya. Tahap selanjutnya adalah hipotesis, yang seiring waktu akan terbukti atau terbantahkan. Pada akhirnya, muncullah label terhadap siswa. Yang menjadi persoalan, Guru Pintar, adalah ketika teori labeling dalam pembelajaran menjadi kontraproduktif. Apalagi, disadari atau tidak, kita cenderung memperlakukan siswa berdasarkan label yang dimilikinya.
Photo by Liza Summer on Pexels
Labeling pada siswa sebenarnya bisa bermakna positif atau negatif. Namun jika mengacu pada sociology of deviance, labeling pada siswa justru dapat membentuk perilaku menyimpang. Bagaimana teori labeling dapat membentuk perilaku menyimpang?
Begini, Guru Pintar. Siswa yang dijuluki bodoh, misalnya, bisa menjadi bahan olok-olokan teman-temannya. Akibatnya, ia akan menjaga jarak dari teman-temannya. Setiap kali mengalami kesulitan belajar, ia akan menyimpannya sendiri alih-alih meminta bantuan kepada teman-temannya. Ia merasa tak berdaya dan rasa percaya dirinya hancur. Tak ayal, nilai-nilainya pun semakin jeblok. Ia pun meyakini bahwa dirinya memang bodoh dan "mempertahankan" label tersebut. Contoh teori labeling ini dapat diterapkan pada label yang lain, seperti nakal, suka bolos, pencuri, dan lain sebagainya.
Photo by Ketut Subiyanto on Pexels
Sebaliknya, teori labeling dalam pembelajaran juga bisa menjadi produktif, dengan meningkatkan prestasi siswa, misalnya. Bagaimana teori labeling meningkatkan prestasi siswa?
Iya, Guru Pintar pasti sudah bisa menjawabnya. Dengan memberikan label positif pada siswa, maka sebenarnya kita mendorongnya untuk menginternalisasi nilai-nilai yang juga positif. Misalnya, kita bisa memulai dengan memberikan dorongan positif seperti, "Kamu pasti bisa." Dengan menerapkan teori labeling dalam pembelajaran secara positif seperti ini, kita berharap siswa menjadi lebih bersemangat dan prestasinya meningkat.
Namun kita perlu menggunakan teori labeling ini dengan hati-hati, Guru Pintar. Pasalnya, teori labeling pada dasarnya menyoroti dampak negatif pemberian label pada orang-orang yang menyandang label tersebut. Pemberian label, sekalipun positif, dapat memengaruhi bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri. Bagi siswa yang masih berusia remaja, pemberian label tentunya berdampak besar.
Kita juga harus berhati-hati agar label yang kita berikan, sekali lagi, sekalipun positif, tidak membatasi potensinya untuk berkembang di bidang yang lain. Siswa yang dijuluki pintar matematika mungkin belum mengeksplorasi minatnya di bidang seni, misalnya. Alih-alih meberinya label si pintar matematika, kita bisa mendeskripsikan apa yang telah dikerjakannya, misalnya, dengan ungkapan, "Kamu mengikuti Olimpiade Matematika dengan baik," atau semacamnya. Meskipun tak sepenuhnya persis mengikuti teori labeling, cara seperti ini diharapkan dapat meningkatkan prestasi siswa, mendorongnya untuk terus berkembang, tanpa mengotak-ngotakkannya pada label tertentu.
Jangan sampai label yang kita berikan justru menutup harapan siswa untuk mencoba minat, kegiatan, maupun pilihan karier di masa depannya. Bukan tidak mungkin setelah mengikuti Olimpiade Matematika, siswa tersebut ingin belajar tari tradisional, misalnya. Dengan menggunakan teori labeling secara bijak, kita dapat memberikan kesempatan kepada siswa-siswi kita untuk mencoba hal-hal baru, belajar mengambil risiko, dan bekerja keras.
ArtikelTerkaitV3
Ini Dia Alasan Mengapa Tes Minat Bakat Jurusan SMK Penting B
Daftar 40+ Jurusan SMK di Indonesia Sobat Pintar, tahukah kamu bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 40 jurusan SMK yang bisa kamu ambil? Tentu kamu harus memilih jurusan yang sesuai dengan skill yang kamu minati. Untuk memberikan kamu referensi menge...
Baca Selengkapnya
Program Pendidikan Profesi Guru (PPG): Melahirkan Guru Profe
Tentang Program Pendidikan Profesi (PPG) Sobat Pintar, Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah program studi yang dirancang untuk mempersiapkan lulusan S1 Kependidikan dan S1/DIV Non Kependidikan menjadi guru profesional. Program ini bertujuan meng...
Wajib Diperhatikan! Ini Daftar 10+ Alasan dan Motivasi Saat
Tentang OSIS: Sejarah Singkat dan Kepengurusan Organisasi Siswa Intra Sekolah atau OSIS adalah organisasi resmi di dalam sekolah. Organisasi ini sudah ada sejak tahun 1923 dengan nama PPIB (Perhimpunan Pelajar Indonesia Baru). Lalu pada tahun 1964, PPIB ...
Hai Sobat Pintar,
Yuk Cobain Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!
Jutaan siswa sudah menemukan minat, bakat dan kampus impian bersama Aku Pintar. Sekarang giliran kamu Sobat!
BannerPromoBlog