APSiswaNavbarV2

redesain-navbar Portlet

BelajarPintarV3

Peta Belajar Bersama

Halo sobat pintar, kita akan memasuki materi bab 7. Sebelum ke materi, yuk kita perhatikan Peta Belajar Bersama terlebih dahulu!


Jangan lupa catat poin pentingnya ya!

Kemerdekaan


Sumber: Tribunnews.com

Jangan lupa catat poin pentingnya ya!

Sejarah perjuangan pemuda Indonesia dalam dunia politik diawali ketika para pelajar mendirikan wadah  perjuangan pertama di Jakarta dengan nama “Boedi Oetomo”. Persatuan gerakan-gerakan mahasiswa tidak hanya terjadi di Jakarta, namun di Belanda juga. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar disana  mendirikan organisasi-organisasi pemuda Indonesia, seperti Indonesische Vereeniging, Indische Partij, Indische Sociaal democratische (ISDV)  dan lainnya. 

Dari kebangkitan pemuda yang dimotori mahasiswa-mahasiswa  tersebutlah, maka pada tanggal 28 Oktober 1928 pada kongres pemuda  II, maka diciptakanlah “Sumpah Pemuda”. Ikrar yang menyatukan seluruh pemuda di Indonesia serta mengakui bahwa hanya ada satu bangsa,  satu tanah air, dan satu bahasa, yakni Indonesia. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia mengadakan sebuah gerakan persatuan, untuk memperjuangkan nasib bangsanya. Nasib bangsa yang belum lahir, namun akan segera lahir. 

Setelah peristiwa Sumpah Pemuda 1928 dan pergerakan bawah tanah yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia, dibantu juga oleh beberapa orang Belanda. Maka pada tahun 1945, pada saat kekuatan Jepang melemah, maka tokoh-tokoh Indonesia memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mendeklarasikan kemerdekaan.

PPKI

Sumber: Tirto.id

Apa yang sobat ketahui tentang PPKI?

Tanggal 7 Agustus 1945 atas persetujuan Komando Tertinggi Jepang Jendral Terauchi di Saigon dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepangnya Dokuritsu junbi inkai. Soekarno diangkat sebagai ketua, sedangkan M. Hatta bertindak sebagai wakil ketua. PPKI mulai bekerja pada tanggal 9 Agustus 1945. Bertugas untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kemerdekaan, terutama mengenai UUD yang rancangannya telah ada, dan akan diserahkan kepada PPKI untuk diterima dan disahkan (Juniarto, 1996: 25; The Liang Gie, 1993: 26). 

Para anggota PPKI diizinkan untuk melakukan kegiatannya menurut pendapat dan kesanggupan bangsa Indonesia sendiri, tetapi mereka diwajibkan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 

(1) Syarat pertama untuk mencapai kemerdekaan ialah menyelesaikan perang yang sekarang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, karena itu bangsa Indonesia harus mengerahkan tenaga sebesar-besarnya, dan bersama-sama dengan pemerintah Jepang meneruskan perjuangan untuk memperoleh kemenangan akhir dalam Perang Asia Timur Raya.

(2) Negara Indonesia itu merupakan anggota lingkungan persemakmuran bersama di Asia Timur Raya, maka cita-cita bangsa Indonesia itu harus disesuaikan dengan cita-cita pemerintah Jepang yang bersemangat Hakko-Ichiu (Poesponegoro dan Notosusanto, 1992:77). 

PPKI ini awalnya berjumlah anggotanya hanya 21 orang, namun kemudian atas usul Soekarno panitia itu ditambah lagi sehingga jumlahnya menjadi 27 orang termasuk ketua dan wakilnya (Mahfud MD, 1993: 49). Menurut rencana PPKI akan dilantik pada tanggal 18 Agustus 1945, sedangkan kemerdekaan Indonesia akan disahkan oleh pemerintah Jepang pada tanggal 24 Agustus 1945 (The Liang Gie, 1993: 27). Tapi pada akhirnya rencana tersebut tidak terjadi disebabkan oleh Perang Pasifik yang mempengaruhi kekuatan militer Jepang. 

Pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat dan penyerbuan pasukan Uni Soviet ke Manchuria yang dikuasai Jepang, besar pengaruhnya terhadap kekuatan militer Jepang. Dengan kondisi Perang Pasifik yang sudah sangat kritis tersebut. Maka pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, suatu kondisi yang sangat tidak diduga sama sekali oleh para pemimpin Bangsa Indonesia saat itu. Kesempatan itu segera dimanfaatkan oleh kelompok pemuda dan gerakan bawah tanah anti Jepang. 

Sekelompok mahasiswa kedokteran yang memonitor keadaan politik internasional melalui pemancar gelap mengetahui menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Mereka segera menghubungi tokoh-tokoh muda revolusioner, seperti Wikana, Sukarni, dan Chaerul Saleh. Mereka menginginkan kemerdekaan segera diproklamasikan lepas sama sekali dari pengaruh Jepang (Yuniarti, 2003: 36). Sutan Syahrir termasuk dalam tokoh yang menolak kemerdekaan Indonesia dikaitkan dengan janji Jepang. 

Berita menyerahnya Jepang pada sekutu didengar oleh Sutan Syahrir melalui berita radio. Saat itu Sutan Syahrir merupakan tokoh pemuda yang aktif dalam “gerakan bawah tanah”. Syahrir mendesak Soekarno dan Moh Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, namun kedua tokoh tersebut menolak. Karena menganggap bahwa masalah kemerdekaan Indonesia perlu dibicarakan dulu dengan PPKI agar tidak menyimpang dari aturan. Akan tetapi para pemuda berpendapat bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus segera dilaksanakan oleh kekuatan bangsa sendiri, bukan oleh PPKI. Menurut para pemuda, PPKI itu buatan Jepang. 

Pemuda berharap kemerdekaan yang dilakukan adalah kemerdekaan yang dilakukan oleh bangsa sendiri, bukan karena jasanya Jepang. Sementara golongan tua menginginkan agar proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan setelah sidang PPKI. Adanya perbedaan pendapat di atas menyebabkan terjadinya peristiwa Rengasdengklok tanggal 16 Agustus 1945. Di Rengasdengklok para pemuda mendesak  Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, namun tetap gagal. 

Akhirnya pukul 17.30 Ahmad Subardjo tiba di Rengasdengklok dan berhasil meyakinkan para pemuda bahwa keesokan harinya setelah Sukarno Hatta tiba di Jakarta Proklamasi kemerdekaan Indonesia pasti terjadi, apabila tidak maka nyawa Subardjo jaminannya. Akhirnya Sukarno Hatta berhasil dibawa kembali ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, segera diadakan perumusan teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda di Jl. Imam Bonjol No. 1 Jakarta. Naskah proklamasi berhasil disusun oleh Sukarno Hatta dan tokoh nasional yang lain. 

Pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10 pagi di Jl. Pegangsaan Timur No.56 Sukarno Hatta mengumandangkan proklamasi memproklamasikan kemerdekaan. Dan pada tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno, dan berita tersebut diteruskan ke seluruh Indonesia. kemerdekaan Indonesia yang diikuti dengan pengibaran bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia raya. Rakyat Indonesia menyambut dengan penuh antusias dan gembira. 

Keesokan harinya pada 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang untuk pertama kalinya. Dalam Sidang itu berhasil ditetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) hasil rancangan Panitia Kecil di dalam Panitia Hukum Dasar, yang diketuai oleh Soepomo sebagai UUD bagi negara Indonesia. UUD ini kemudian dikenal sebagai UUD 1945. Meskipun demikian, UUD 1945 tidak sama persis dengan rancangan UUD yang dibuat oleh Panitia Kecilnya Soepomo.

 Ada beberapa perbedaan, yaitu: 

  1. Kata Mukaddimah diganti dengan kata Pembukaan:
  2. Sila Pertama yang semula (dalam Piagam Jakarta) berbunyi: “KeTuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan kalimat: “Ketuhanan Yang Maha Esa”
  3. Pasal 6 yang semula (dalam batang tubuh UUD) berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, diganti dengan “Presiden ialah orang Indonesia asli”
  4. Pasal 28 yang semula (dalam batang tubuh UUD) berbunyi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
  5. (pasal ini kemudian menjadi Pasal 29) (Mahfud MD 1993: 52; Bahar, dkk., 1995: 414-415). 
  6. Wakil presiden yang semula dua diubah menjadi satu (Mahfud MD, 1993: 20). 

PPKI dalam sidangnya itu selain memutuskan mengesahkan UUD 1945 sebagai UUD bagi Bangsa Indonesia, juga membuat keputusan penting lainnya. Keputusan penting itu adalah pengangkatan Soekarno dan M. Hatta masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu, atas usul Soekarno dibentuk sebuah Komite Nasional yang mampu dikumpulkan dengan cepat pada masa-masa genting, karena anggota-anggota PPKI banyak yang akan meninggalkan Jakarta. Tugas komite itu adalah sebagai badan pembantu presiden (Bahar, 1995: 447), selama kondisi di Indonesia masih dalam kondisi darurat.

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

PMII


Sumber: nucirebon.or.id

Apa yang sobat ketahui mengenai PMII?

Latar belakang berdirinya PMII berkaitan dengan kondisi politik pada pemilu tahun 1955, saat itu muncul kekuatan politik yang terdiri dari partai Masyumi, PNI, PKI dan NU. Munculnya partai Masyumi diharapkan mampu untuk menggalang berbagai kekuatan umat Islam pada saat itu (namun gagal). Karena adanya indikasi keterlibatan Masyumi dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Semesta (Permesta) yang menimbulkan konflik antara Soekarno dengan Masyumi (1958). 

Hal inilah yang kemudian membuat kalangan mahasiswa NU gusar dan tidak ingin beraktivitas kembali di HMI (yang saat itu lebih dekat dengan Masyumi), sehingga mahasiswa NU terinspirasi untuk mempunyai wadah tersendiri “di bawah naungan NU” proses kelahiran PMII terkait dengan perjalanan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang lahir pada 24 Februari 1954, dan bertujuan untuk mewadahi dan mendidik kader-kader NU demi meneruskan perjuangan NU. Namun dengan pertimbangan aspek psikologis dan intelektualitas, para mahasiswa NU menginginkan sebuah wadah tersendiri. 

Sehingga berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) pada Desember 1955 di Jakarta, yang diprakarsai oleh beberapa Pimpinan Pusat IPNU, diantaranya Tolchah Mansyur, Ismail Makky dll. Namun akhirnya IMANU tidak berumur panjang, karena PBNU tidak mengakui keberadaanya. Hal itu cukup beralasan mengingat pada saat itu baru saja dibentuk IPNU pada tanggal 24 Februari 1954.

Dibubarkannya IMANU tidak membuat semangat mahasiswa NU menjadi luntur, akan tetapi semakin mengobarkan semangat untuk memperjuangkan kembali pendirian organisasi, sehingga pada Kongres IPNU ke-3 di Cirebon, 27-31 Desember 1958, diambillah langkah kompromi oleh PBNU dengan mendirikan Departemen Perguruan Tinggi IPNU untuk menampung aspirasi mahasiswa NU. Namun setelah disadari bahwa departemen tersebut tidak lagi efektif, serta tidak cukup kuat menampung aspirasi mahasiswa NU (sepak terjang kebijakan masih harus terikat dengan struktur PP IPNU). 

Akhirnya pada Konferensi Besar IPNU di Kaliurang, 14-16 Maret 1960, disepakati berdirinya organisasi tersendiri bagi mahasiswa NU dan terpisah secara struktural dengan IPNU. Dalam Konferensi Besar tersebut ditetapkanlah 13 orang panitia sponsor untuk mengadakan musyawarah diantaranya adalah:

  1. A.Cholid Mawardi (Jakarta).
  2. M. Said Budairi (Jakarta).
  3. M. Sobich Ubaid (Jakarta).
  4. M. Makmun Syukri, BA (Bandung).
  5. Hilman (Bandung).
  6. H. Ismail Makky (Yogyakarta).
  7. Munsif Nahrawi (Yogyakarta).
  8. Nurul Huda Suaidi, BA (Surakarta).
  9. Laili Mansur (Surakarta).
  10. Abdul Wahab Djaelani (Semarang).
  11. Hizbullah Huda (Surabaya).
  12. M. Cholid Marbuko (Malang).
  13. Ahmad Husein (Makassar).

3 dari 13 orang sponsor pendiri itu, yaitu Hisbullah Huda (Surabaya), Said Budairy (Jakarta), dan Maksum Syukri (Bandung) pada tanggal 19 Maret 1960 berangkat ke Jakarta menghadap Ketua Umum Partai Nahdlatul ulama (NU) yaitu KH. Idham Khalid untuk meminta nasehat sebagai pegangan pokok dalam musyawarah yang akan dilaksanakan. Dan akhirnya mereka mendapatkan lampu hijau, beberapa petunjuk. Salah satu pesan KH. Idham Khalid yang menjadi pegangan bagi mahasiswa nahdliyin pada waktu itu yaitu hendaknya organisasi yang akan dibentuk itu benar-benar dapat diandalkan, dan menjadi mahasiswa yang berprinsip ‘ilmu untuk diamalkan’ bagi kepentingan rakyat, bukan ‘ilmu untuk ilmu’. 

Lalu berkumpullah tokoh-tokoh mahasiswa yang tergabung dalam organisasi IPNU tersebut untuk membahas tentang nama organisasi yang akan dibentuk. Akhirnya, pada tanggal 14-16 April 1960 dilaksanakan Musyawarah Nasional Mahasiswa NU bertempat di Taman Pendidikan Puteri KhadijahSurabaya dengan dihadiri mahasiswa NU dari berbagai penjuru kota di Indonesia, dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. 

Pada saat itu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Delegasi Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Delegasi Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan Kongres. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari “P” apakah Perhimpunan atau Persatuan. Akhirnya disepakati huruf “P” merupakan singkatan dari Pergerakan, sehingga PMII adalah “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”.

PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawal 1379 Hijriyah. Maka secara resmi pada tanggal 17 April 1960 dinyatakan sebagai hari lahir PMII. Dua bulan setelah berdiri, pada tanggal 14 Juni 1960 pucuk pimpinan PMII disahkan oleh PBNU. Sejak saat itu PMII memiliki otoritas dan keabsahan untuk melakukan program-programnya secara formal organisatoris. Dalam waktu yang relatif singkat, PMII mampu berkembang pesat sampai berhasil mendirikan 13 cabang yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia karena pengaruh nama besar NU. 

Dalam perkembangannya PMII juga terlibat aktif, baik dalam pergulatan politik serta dinamika perkembangan kehidupan kemahasiswaan dan keagamaan di Indonesia (1960-1965). Pada 14 Desember 1960 PMII masuk dalam PPMI dan mengikuti Kongres VI PPMI (5 Juli 1961) di Yogyakarta sebagai pertama kalinya PMII mengikuti kongres federasi organisasi ekstra universitas. Peran PMII tidak terbatas di dalam negeri saja, tetapi juga terlibat dalam perkembangan dunia internasional. Terbukti pada bulan September 1960. 

PMII ikut berperan dalam Konferensi Panitia Forum Pemuda Sedunia (Konstituen Meeting of Youth Forum) di Moskow, Uni Soviet. Tahun 1962 menghadiri seminar World Assembly of Youth (WAY) di Kuala Lumpur, Malaysia. Festival Pemuda Sedunia di Helsinki, Irlandia dan seminar General Union of Palestina Student (GUPS) di Kairo, Mesir. Di dalam negeri, PMII melibatkan diri terhadap persoalan politik dan kenegaraan, terbukti pada tanggal 25 Oktober 1965, berawal dari undangan Menteri Perguruan Tinggi Syarif Thoyib kepada berbagai aktivis mahasiswa untuk membicarakan situasi nasional saat itu. 

Sehingga dalam ujung pertemuan disepakati terbentuknya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang terdiri dari PMII, HMI, IMM, SEMI, dan GERMAHI yang dimaksudkan untuk menggalang kekuatan mahasiswa Indonesia dalam melawan rongrongan PKI dan meluruskan penyelewengan yang terjadi. Sahabat Zamroni sebagai wakil dari PMII dipercaya sebagai Ketua Presidium. Dengan keberadaan tokoh PMII di posisi strategis menjadi bukti diakuinya komitmen dan kapabilitas PMII untuk semakin proaktif dalam menggelorakan semangat juang demi kemajuan dan kejayaan Indonesia. 

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

PII


Sumber: Id.wikipedia.org

Faktor pendorong terbentuknya PII adalah dualisme sistem pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda dan Jepang. Pada saat itu pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua bagian, yaitu pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi “akhirat” sementara sekolah umum berorientasi “dunia”. 

Yoesdi Ghozali yang saat itu berstatus sebagai pelajar di STI Yogyakarta berkeinginan membuat sebuah wadah ke pelajaran yang menampung seluruh kalangan. Ketika itu memang pelajar mempunyai wadah organisasi bernama Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) pada tanggal 27 September 1945, akan tetapi keberadaannya tidak mewakili kalangan “Islam” karena IPI berhaluan “umum” dan terindikasi didominasi aktivis sayap kiri (Latif, 2005: 429). Hasrat yang kuat untuk mendirikan wadah gerakan pelajar tersebut dimulai ketika Yoesdi Ghozali beri'tikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta tanggal 25 Februari 1947. 

Pada tanggal 9 Juni 1947 disepakati “Perjanjian Malioboro” dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Dalam perjanjian Malioboro itu, IPI berjanji akan menjelaskan bestaanrecht (hak hidup) organisasi Pelajar Islam Indonesia, kepada daerah-daerah dan cabang-cabangnya, jika diperlukan akan membantu berdirinya PII ditempat-tempat yang belum ada organisasi tersebut (Djaelani, 2000: 14). Dengan demikian, perjanjian itu meneguhkan keberadaan PII sebagai organisasi pelajar Islam dan disambut baik keberadaannya dan diberikan haknya untuk hidup di tengah-tengah masyarakat.

Tujuan dan Usaha Pelajar Islam Indonesia (PII) mempertegas peranan dan eksistensinya sebagai organisasi berbasis pelajar yang konsen terhadap pendidikan dan dakwah dan kebudayaan. Sebagai implementasinya, PII menggariskan tujuan organisasi yaitu: “Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia” (PB PII Muktamar Nasional ke-25, 2004: 137). Pada mulanya tujuan PII adalah, "Kesempurnaan pendidikan dan pengajaran bagi seluruh anggotanya."

Keterlibatan PII dalam arus politik di era Orde Baru dimulai ketika pemerintah mengeluarkan RUU Perkawinan tahun 1973. RUU perkawinan itu dinilai bertentangan dengan ajaran Islam dan memuat agenda pemisahan umat Islam dengan ajaran Islam. Sebagai bentuk protes atas lahirnya RUU Perkawinan itu, PII mempelopori pembentukan Badan Kontak Generasi Pelajar Islam (BKGPI) yang dipimpin oleh Ketua Umum Pengurus Wilayah PII Jakarta, A. Yunani Aloetsyah. Anggota yang berhimpun dalam BKGPI ini adalah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Pelajar Al-Wasliyah dan Ikatan Pelajar Mathlaul Anwar (Hannan, 2006: 117). 

Pada 27 September 1973, massa BKGPI berhasil menduduki Gedung DPR RI lebih dari dua jam pada saat pelaksanaan sidang RUU Perkawinan. Mereka meminta diberikan kesempatan untuk bicara menyampaikan pendapatnya kepada Menteri Agama dan Menteri Kehakiman yang hadir dalam sidang, tetapi aparat keamanan menghalau massa BKPGI dan berhasil memukul mundur sampai ke luar ruangan (Hannan, 2006: 118). Pada era sebelum 1998 ini, kondisi PII tidak begitu aktif menjalankan aktivitasnya dalam pemberdayaan kepada pelajar. 

Hal itu karena posisi saat itu menjadi organisasi terlarang akibat sikap politiknya menentang kebijakan pemerintah Orde Baru. Pada waktu itu PII dilarang menjalankan aktivitasnya di sekolah dan memaksa bergerak di bawah tanah. Rezim Orde Baru pada saat itu dengan alat kekuasaannya secara leluasa mengontrol dan menekan berbagai elemen sosial yang berpotensi oposan untuk membangun legitimasi kekuasaan yang kokoh. Di antaranya dengan mengeluarkan kebijakan depolitisasi gerakan pelajar dan mahasiswa.

Melalui Mendikbud yang saat itu dijabat oleh Daoed Joesoef, pemerintah mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dalam SK Mendikbud No. 0156/U/1978 pada tanggal 19 April 1978 yang menyatakan bahwa aktivitas dan ekspresi politik mahasiswa di dalam kampus adalah tidak sah serta hanya mengijinkan adanya diskusi akademik tentang subjek politik (Suharsih dan Ign Mahendra K, 2007: 86-87). Kebijakan tersebut beriringan dengan adanya upaya pembungkaman daya kritis pelajar secara sistematis melalui TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Strategi Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda. 

Pemerintah Orde Baru juga menerapkan kebijakan pelarangan organisasi massa yang berasaskan Islam melalui instrumen UU No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pada BAB II pasal 1 berbunyi bahwa “Organisasi kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya azas” (Karim, 1997: 127). PII termasuk diantara organisasi pelajar yang menolak tegas diberlakukannya asas tunggal karena secara konsisten terhadap asas Islam sebagai dasar organisasi. Sikap PII yang keras itu mengundang kecaman dari pemerintah, tetapi PII dengan konsisten teguh dengan pendiriannya. 

Sikap PII tersebut berdasarkan pada keputusan Muktamar PII pada tahun 1986 di Jakarta yang memutuskan, bahwa PII menerima Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah negara Indonesia, sebagai konsensus nasional dan landasan bersama untuk negara yang mengikat segenap aliran dan golongan, akan tetapi PII menolak menjadikan Pancasila sebagai sumber nilai dalam aktivitasnya, karena menurut PII Islam sudah cukup sebagai sumber nilai setiap gerakannya (Tausikal dalam Thamrin, 1998: 52). 

Akibat sikap PII yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, Menteri Dalam Negeri RI yang saat itu dijabat oleh Soepadjo Rustam atas nama pemerintah mengeluarkan SK No. 120 tahun 1987 tentang Organisasi Kemasyarakatan Pelajar Islam Indonesia tertanggal 10 Desember 1987, yang menyatakan "PII tidak diakui keberadaannya karena tidak memenuhi persyaratan undang-undang dan semua kegiatan yang mengatasnamakan Pelajar Islam Indonesia (PII) dinyatakan dilarang” (Tempo, 1988: 34). Situasi politik yang menerpa gerakan pelajar pada era Orde Baru tersebut mengakibatkan kekosongan gerakan di kalangan pelajar. 

Akibat pelarangan itu, berdampak pula pada gerakan PII di Jakarta. Saat itu terjadi penurunan aktivitas yang berdampak pada merosotnya kuantitas basis PII dan kualitas struktur di setiap daerah. Respon atas pembubaran PII yang secara signifikan berpengaruh pada kaderisasi dan eksistensi organisasi agar tetap eksis, ketika itu PW PII Jakarta mencari format baru gerakannya. Analisa itu disesuaikan dengan melihat PP No. 18 tahun 1986 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “Perhimpunan yang bersifat kekerabatan yang mempunyai kegiatan, tujuan yang bersifat sementara, serta keanggotaan yang bersifat longgar misalnya arisan tidak termasuk pengertian organisasi kemasyarakatan”. 

Setelah tahun 1974 (sejak dibentuknya NKK dan BKK) maka tidak ada gerakan besar yang dilakukan oleh mahasiswa intra. Dalam perkembangannya gerakan mahasiswa digeser oleh kehadiran Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menjadi alternatif gerakan mahasiswa, untuk membantu masyarakat mencapai tujuannya. Selain itu beberapa mahasiswa intra mulai meleburkan diri dan aktif dalam organisasi kemahasiswaan ekstra kampus, seperti HMI, PMII, GMKI dan PMKRI (yang selanjutnya dikenal dengan kelompok Cipayung). Kelompok Cipayung ini terus melakukan pergerakan lewat diskusi-diskusi dan pers mahasiswa.

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Tragedi Trisakti dan Semanggi


Sumber: KanalKalimantan.com

Tragedi Trisakti

Menjelang kejatuhan Soeharto, telah terjadi aksi mahasiswa besar-besaran hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan tuntutan perubahan akan pemerintahan yang demokratis serta reformasi total. Demonstrasi mahasiswa itu ditangani dengan pola-pola represif, melalui pembubaran aksi-aksi demonstrasi mahasiswa, penembakan di luar proses hukum, maupun tindakan penganiayaan lainnya. Tragedi terbesar terjadi pada 12 Mei 1998, dimana aparat melakukan penembakan terhadap 4 orang mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendriawan Sie. 

Sementara korban luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Besoknya terjadi kerusuhan massal yang meluluh-lantakkan sendi kehidupan rakyat Indonesia, khususnya Jakarta. Buntutnya Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden.

Tragedi Semanggi

Pada 21 Mei 1998. Antara 8 – 14 November 1998, kembali terjadi kekerasan terhadap mahasiswa. Mahasiswa berdemonstrasi untuk menolak sidang istimewa yang dinilai inkonstitusional serta meminta presiden untuk mengatasi krisis ekonomi kembali direspon aparat lewat penembakan dengan peluru tajam. 

Akibatnya 18 orang mahasiswa meninggal, 4 orang diantaranya adalah yaitu Teddy Mardani, Sigit Prasetya, Engkus Kusnadi dan BR Norma Irmawan. Sementara korban yang luka-luka mencapai 109 orang, baik masyarakat maupun mahasiswa. Rencana pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya pada September 1999 kembali mengundang sikap kritis mahasiswa. Aturan yang sedianya akan menggantikan UU Subversif, karena dianggap bersifat otoriter itu dinilai tak jauh berbeda dengan UU Subversif itu sendiri. 

Aparat keamanan kembali melakukan penembakan kepada mahasiswa, relawan kemanusiaan, tim medis dan masyarakat yang menimbulkan 11 orang meninggal di seluruh Jakarta, salah satunya adalah Yap Yun Hap di bilangan Semanggi Jakarta. Sementara korban luka-luka mencapai 217 orang. Pansus DPR dan Pengadilan Militer Keluarga korban yang mendesak negara untuk bertanggung jawab atas kasus ini harus berjuang keras menghadapi berbagai rintangan, baik yang bersifat politis maupun legalitas formal. 

Penyelesaian kasus tragedi Trisakti dan Semanggi

Pengadilan Militer untuk kasus Trisakti yang digelar pada 1998 menjatuhkan putusan kepada 6 orang perwira pertama Polri. Sementara pada 2002 pengadilan militer menjatuhkan hukuman kepada 9 orang anggota Gegana/Resimen II Korps Brimob Polri. Tahun 2003 pengadilan militer juga menggelar persidangan bagi pelaku penembakan pada peristiwa Semanggi II yang belum jelas hasilnya. Pengadilan militer ini menimbulkan kekecewaan dari keluarga korban, karena hanya mengadili perwira bawahan dan tidak membawa pelaku penanggung jawab utama ke pengadilan.

Selain itu, pengadilan militer yang digelar merupakan pengadilan yang bersifat internal. Desakan mahasiswa dan keluarga korban terus berlanjut, sehingga DPR membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II pada tahun 2000, yang bertugas melakukan pemantauan proses penyelesaian kasus tersebut. Pada 2001, Pansus menyimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran berat dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II serta merekomendasikan penyelesaian melalui proses yang sedang berjalan di pengadilan umum atau pengadilan militer. Hasil itu juga mengecewakan keluarga korban.

Dengan alasan telah terjadi pelanggaran berat HAM yang sistematik dan meluas, keluarga korban dan mahasiswa tetap mendesak Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II ini terbentuk pada tahun 2001. Namun, proses penyelidikan mengalami hambatan, antara lain kesulitan untuk mengakses informasi dari lembaga-lembaga negara maupun sikap tidak kooperatif institusi TNI dan Polri terhadap pemeriksaan anggotanya.

Dalam laporannya, KPP HAM menyimpulkan bahwa dari bukti-bukti permulaan yang cukup telah terjadi pelanggaran berat HAM dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II dengan 50 orang yang diduga tersangka. Hasil penyelidikan Komnas HAM diberikan kepada Kejaksaan Agung untuk segera dilakukan penyidikan sesuai UU No. 26 tahun 2000, pada April 2002. Polemik Komnas HAM, Jaksa Agung dan DPR Kontroversi ini berawal dari kesimpulan dan rekomendasi Pansus DPR yang menyatakan tidak ada pelanggaran HAM yang berat sehingga penyelesaian kasus tersebut dilakukan melalui peradilan umum/militer yang sedang berjalan. 

Kontroversi berlanjut dengan adanya penolakan TNI atas panggilan sejumlah petinggi militer aktif dan non aktif guna dimintai keterangan oleh tim ad hoc penyelidik Komnas HAM dan terakhir, bolak-baliknya berkas penyelidikan antara Jaksa Agung dan Komnas HAM. Tahun 2005, kasus Trisakti, Semanggi I dan II bergulat keras di parlemen. Karena Jaksa Agung bersikukuh tidak melanjutkan proses penyidikan akibat terganjal Pansus DPR 2001 dan menyarankan korban untuk menuntut adanya pencabutan hasil Pansus terlebih dahulu. 

Akhirnya keluarga korban memfokuskan diri untuk melakukan upaya pencabutan hasil Di tengah pergulatan melawan sikap DPR yang alot dan tidak pasti, keluarga korban Trisakti bersama Rektor Usakti dan Presma Trisakti bertemu Presiden SBY, 28 Juni 2005 keluarga korban Trisakti bersama Rektor Usakti dan Presma Trisakti bertemu Presiden SBY. Pemerintah akan memberikan apresiasi dan penghargaan kepada mahasiswa korban Tragedi Trisakti 12 Mei 1998. 

Melalui Jubir Andi Mallarangeng, Presiden menyatakan pemerintah akan mencoba mencarikan jalan bagaimana meletakkan Tragedi Trisakti itu dalam bingkai sejarah perjalanan bangsa dan bagaimana menarik pelajaran besar dengan melakukan perubahan – perubahan serta melakukan penegakkan hukum secara adil. Presiden juga memberikan pesan agar proses peradilan dilakukan secara bijak. Penegakkan hukum peradilannya dilakukan secara adil, cermat dan jelas. Namun, keluarga korban tetap mendesak adanya pengadilan untuk pelaku. 

Seperti diungkapkan Ibu Heratety Hidayat (Ibu mendiang Elang Mulia Lesmana), “Presiden sudah menunjukkan kearifan dan pikiran yang jernih, tetapi saya masih mengharapkan pengadilan HAM Ad Hoc bisa digelar untuk mengungkap kebenaran sejarah.” Ibu Karsiah, Ibunda Hendrawan Sie mengatakan : “Kami hanya mengharapkan jalan terbaik untuk mengungkap dan mengadili para pelaku yang bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut. Kami cuma bisa berharap setelah terombang – ambing selama tujuh tahun”. 

Pada 15 Agustus 2005 Presiden SBY menganugerahi tanda kehormatan Bintang Jasa Pratama kepada empat orang mahasiswa Trisakti yang meninggal dunia akibat tembakan aparat keamanan dalam peristiwa Trisakti Mei 1998, berdasarkan keputusan Presiden Nomor 057 / TK/ 2005 tanggal 9 Agustus 2005.

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

Materi lebih lengkap ada di Apps Aku Pintar

Download GRATIS
Aplikasi Aku Pintar Sekarang Juga!

QR Code

redesain-navbar Portlet