Materi Sejarah Indonesia (Wajib) - Pergerakan Kebangsaan Indonesia Kelas 11 - Belajar Pintar
BelajarPintarV3
Peta Belajar Bersama
Sobat, ini nih, ada Peta Belajar Bersama Sejarah di bab keempat
Politik Etis: Pintu Pembuka Pendidikan Model
Yuk belajar tentang Politik Etis: Pintu Pembuka Pendidikan Model..
Memasuki abad ke-20 kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Kebijakan itu diikuti dengan penaklukkan terhadap wilayah-wilayah yang belum dikuasai, jika perlu dengan pendekatan militer. Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah disatukan dalam penerapan administrasi baru yang berpusat di Batavia, yang disebut Pax Neerlandica. Pemerintah kolonial pun melakukan perjanjian- perjanjian. Selanjutnya sistem administrasi tradisional berubah ke sistem administrasi modern. Suatu sistem yang mana pemerintahan mengambil alih sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial.
Kebijakan ini ditetapkan untuk mengambil posisi penting dari pemimpin daerah ke tangan Belanda. Sistem itu memisahkan pemimpin pribumi dari akar hubungan tradisional dengan rakyatnya, mereka kemudian dijadikan pegawai dalam birokrasi kolonial. Serangkaian tindakan penjajahan Belanda tersebut telah menimbulkan banyak perlawanan dari pihak bangsa Indonesia.
Strategi perlawanan yang ditempuh waktu umumnya dengan perlawanan bersenjata. Sayangnya perlawanan dalam menghadapi kekuatan kolonialisme dan imperialisme itu masih bersifat lingkup daerah atau wilayah tertentu. Riau melancarkan perlawanan sendiri, Banten perang sendiri, Mataram angkat senjata sendiri, Makassar begitu, Tondano juga begitu dan begitu seterusnya perlawanan Diponegoro berdiri sendiri, Padri sendiri, Aceh sendiri. Bahkan dari masing-masing daerah atau pihak Indonesia ini bisa diadu domba.
Orang-orang Madura diadu domba dengan Mataram, Aru Palaka dari Bone diadu dengan Hasanuddin dari Makassar, pasukan Ali Basya Sentot Prawirodirjo diadu dengan pasukan Padri. Sudah barang tentu ini sangat tidak menguntungkan dan sangat melemahkan para pejuang Indonesia. Pengalaman ini menunjukkan pentingnya cara-cara yang lebih terorganisasi dan didasarkan pada persatuan dan kesatuan. Sementara itu, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang berbasis pada sistem kapitalisme Barat, melalui komersialisasi, sistem moneter, dan komoditas barang.
Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah, sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran. Dampak dari itu semua, kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami penurunan kesejahteraan. Kebijakan itu mendapat kritik dari politikus dan intelektual di Hindia Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer. Ia membuat tulisan yang berjudul “Een Eereschuld’ (utang kehormatan), yang dimuat di majalah De Gids (1899).
Dalam tulisannya Van Deventer mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk membangun negeri mereka dan memperoleh keuntungan yang besar. Oleh karena itu, menurutnya sudah sewajarnya Belanda membayar hutang budi itu dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan. Kritikan itu mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa kelompok yang sependapat dengan Van Deventer mengungkapkan perlunya suatu kewajiban moral bagi Belanda untuk memberikan balas budi.
Keuntungan yang didapat dari hasil eksplorasi di tanah Hindia harus dikembalikan. Untuk itulah perlu dilakukan perbaikan kesejahteraan penduduk melalui berbagai bidang kehidupan, pendidikan, dan besarnya partisipasi masyarakat dalam mengurus pemerintahan. Kritik-kritik itu mendapat perhatian serius dari pemerintah Belanda. Ratu Wilhelmina kemudian mengeluarkan suatu kebijakan baru bagi masyarakat Hindia Belanda yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan baru itu adalah Politik Etis. Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916). Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Adanya Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”.
Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupan pun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi. Di samping itu, pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera.
Politik etis yang diberlakukan di Hindia Belanda sejak tahun 1901 membawa dampak positif bagi kemajuan rakyat Indonesia, salah satunya adalah dengan munculnya kaum elite terpelajar. Keberadaan kaum elite terpelajar tersebut kelak akan menjadi motor penggerak pembebasan bangsa Indonesia dari penjajahan. Salah satu program politik etis yang memberikan kesadaran terhadap nasib bangsa Indonesia yang dibedakan kedudukannya dalam masyarakat kolonial adalah edukasi.
Edukasi atau pendidikan dinilai sebagai jalan satu-satunya yang dapat ditempuh untuk memperbaiki nasib rakyat, karena dengan adanya perbaikan pendidikan maka nasib rakyat akan menjadi lebih baik. Pemberlakuan politik etis di Hindia Belanda melahirkan sekolah-sekolah bagi kaum pribumi. Bukan hanya sekolah rendah, tetapi dibangun pula sekolah menengah, sekolah keguruan, dan sekolah tinggi.
Namun pengajaran di sekolah-sekolah tersebut hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki, sedangkan bagi anak-anak perempuan hanya memperoleh pendidikan di rumah dan di lingkungan keluarga. Anak-anak perempuan dididik untuk mempersiapkan diri menjadi ibu rumah tangga, mereka diharuskan belajar memasak, menjahit, dan membatik yang merupakan rutinitas di rumah.
Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis adalah kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya Barat sebagai model pendidikan modern merupakan tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu hanya saja menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, tetapi juga pada sektor swasta Belanda.
Adanya pendidikan gaya Barat itu membuka peluang bagi mobilitas sosial masyarakat di tanah Hindia/ Indonesia. Pengaruh pendidikan Barat itu pula yang kemudian memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputera harus mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan.
Golongan intelektual bumiputra itu disebut “priyayi baru '' yang sebagian besar adalah guru dan jurnalis di kota-kota. Pendidikan dan pers itu pula menjadi sarana untuk menyalurkan ide-ide dan pemikiran mereka yang ingin membawa kemajuan, dan pembebasan bangsa dari segala bentuk penindasan dari kolonialisme Belanda. Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, Ambon, atau apa pun karena mereka adalah bumiputera.
Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah lulus sangatlah berbeda dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda terpelajar inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputera di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna baru bagi kaum pelajar terdidik saat itu.
Mereka tentunya tidak mengenal satu sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia. Mereka saling berbagi pengalaman, gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka. Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka menggerakkan wacana perubahan di lembaga tersebut.
Budi Utomo
Sumber: https://perpustakaan.tanahimpian.web.id/
Lahirnya Budi Utomo tidak dapat dilepaskan dari gagasan dr. Wahidin Sudirohusodo mengenai perlunya memperluas dan meningkatkan pendidikan bagi bangsa Indonesia. Pada akhir tahun 1907, Wahidin bertemu dengan Sutomo, pelajar STOVIA di Batavia. Pertemuan antara Wahidin dan Sutomo tersebut berhasil mendorong didirikannya organisasi yang diberi nama Budi Utomo pada hari Rabu tanggal 20 Mei 1908 di Batavia dan Sutomo ditunjuk sebagai ketuanya. Oleh karena itu, pada tanggal 20 Mei 1908 dijadikan sebagai hari Kebangkitan Nasional.
Kongres Budi Utomo pertama diselenggarakan pada bulan Oktober 1908 dan berhasil memilih Adipati Tirtokusumo (Bupati Karanganyar) sebagai ketuanya dan dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai wakil ketuanya. Keputusan yang diambil dalam Kongres pertama tersebut adalah sebagai berikut:
- Keanggotaan Budi Utomo terbatas pada suku bangsa yang berkebudayaan Jawa (Untuk bangsa Jawa, Madura, Bali, dan Lombok).
- Budi Utomo hanya bergerak di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, serta tidak bergerak dalam kegiatan politik.
Adapun tujuan yang diemban oleh organisasi Budi Utomo adalah kemajuan yang harmonis untuk nusa dan bangsa Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Budi Utomo memiliki strategi perjuangan kooperatif yakni bekerjasama dengan pihak Belanda dalam memajukan kesejahteraan pribumi. Sebagian besar anggota Budi Utomo adalah pegawai pemerintah kolonial, sehingga sangat menjaga hubungan dengan pemerintah kolonial Belanda dan tidak berani mengambil resiko.
Sejak tahun 1915 kegiatan organisasi budi utomo berubah tidak hanya bergerak dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, namun juga bergerak dalam bidang politik. Perubahan ini muncul karena adanya organisasi seperti Sarekat Islam dan Indische Partij yang bergerak dalam bidang politik, karena itulah budi utomo tidak ingin ketinggalan sebagai organisasi gerakan kemerdekaan indonesia. Peran Gerakan Organisasi Budi utomo dalam Kegiatan Bidang politik yaitu:
- Budi Utomo ikut duduk dalam Komite Indie Weerbaar (Panitia Ketahanan Hindia Belanda) yang dikirim ke Belanda pada tahun 1916–1917.
- Budi Utomo juga mengusulkan pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) bagi penduduk pribumi, ketika wakilnya dalam Komite Indie Weerbaar berangkat ke Belanda.
- Budi Utomo berpartisipasi dalam pembentukan Komite Nasional untuk menghadapi pemilihan anggota Volksraad
- Budi Utomo berpartisipasi aktif sebagai anggota Volksraad, bahkan menempati dua dalam hal jumlah anggota di antara anggota pribumi.
- Budi Utomo mencanangkan program politiknya berupa keinginan mewujudkan pemerintahan parlementer yang berasas kebangsaan.
Pada tahun 1927, Budi Utomo memprakarsai dan bergabung dalam Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), selanjutnya melebur dalam PBI (Persatuan Bangsa Indonesia) yang berubah namanya menjadi Parindra (Partai Indonesia Raya). Pada tahun 1935 Budi Utomo secara resmi dibubarkan.
Federasi dan “Front Sawo Matang”
Yuk belajar tentang Federasi dan “Front Sawo Matang”
Pada uraian di depan sudah disebutkan bahwa kaum muda terpelajar belum puas dengan perkembangan organisasi pergerakan yang belum bersatu. Kesadaran kebangsaan sudah tumbuh, tetapi masih terbatas pada anggota masing-masing organisasi. Dengan belajar dari perjuangan PI pemuda semakin bersemangat untuk mewujudkan persatuan di antara organisasi-organisasi pergerakan yang ada. Asas perjuangan PI tidak hanya menginspirasi para muda terpelajar, tetapi juga tokoh-tokoh organisasi pada umumnya. Sebagai contoh Ir. Sukarno. Ia belum juga puas dengan keadaan dan perkembangan organisasi-organisasi yang ada, termasuk PNI sebagai organisasi yang ia pimpin.
Perkembangan PNI memang sangat pesat tetapi belum mampu membangun jaringan dan kerja sama dengan organisasi-organisasi yang lain. Oleh karena itu, Ir.Soekarno ingin membentuk wadah yang merupakan gabungan dari berbagai organisasi. Sukarno pernah membentuk Konsentrasi Radikal pada tahun 1922. Konsentrasi Radikal dimaksudkan merupakan wadah penyatuan para nasionalis dan partai-partai yang diwakilinya.
Gagasan tentang persatuan dan kerjasama antar organisasi itu sudah lama didengungkan oleh PI. Bahkan “persatuan” menjadi salah satu asas perjuangan PI. Tahun 1926 Moh. Hatta dengan tegas menyatakan perlunya diciptakan “blok nasional” yang terdiri atas partai-partai politik (organisasi-organisasi pergerakan), baik yang berbasis komunis maupun yang nasionalis, (baik yang agamis maupun yang sekuler), guna menghadapi penjajahan pemerintah Hindia Belanda.
Namun sayangnya pada tahun 1926 dan awal tahun 1927 PKI dengan ambisinya melakukan gerakan sendiri melawan kekuasaan Belanda dan akhirnya dapat dihancurkan oleh Belanda. Dengan peristiwa itu, maka tokoh-tokoh pergerakan nasionalis semakin bersemangat untuk membentuk kekuatan bersama. Apalagi kondisi politik saat itu yang diwarnai dengan sikap keras dan kejam pemerintah kolonial terhadap organisasi-organisasi pergerakan. Oleh karena itu, sangat diperlukan kerja sama antara berbagai organisasi pergerakan yang ada.
Kebetulan juga pada tahun 1927 telah terbit beberapa surat kabar yang memuat tulisan tentang perlunya mengatasi berbagai perbedaan untuk membangun kerja sama yang lebih kokoh. Dalam rangka merealisasikan gagasan tentang persatuan itu, Ir. Soekarno ingin membentuk wadah persatuan dengan memadukan aliran nasionalisme, Islam dan marxisme, sehingga merupakan kekuatan moral dan nasionalisme yang kokoh. Ir. Sukarno mendesak para pemimpin organisasi untuk membentuk sebuah federasi antar partai dan organisasi yang sekaligus merupakan “front sawo matang” untuk menghadapi praktik diskriminasi kelompok kulit putih yang merasa superior.
Federasi dalam hal ini harus mencerminkan situasi sosial dan politik di Indonesia dengan berbagai orientasi dan aliran yang beragam. Mengingat realitas ini maka federasi dibuat longgar dan tidak lebur. Ir. Soekarno segera menemui beberapa pimpinan organisasi untuk membahas ide persatuan melalui sebuah federasi. Sukarno juga bertemu dengan Dr. Sukiman sebagai pimpinan Partai Syarikat Islam (PSI) sebagai organisasi atau partai yang cukup besar di Indonesia. Serangkaian pertemuan dan diskusi dilakukan untuk membahas tentang pembentukan federasi antar partai dan organisasi di Indonesia.
Ada pemikiran bahwa organisasi baru hasil federasi itu akan diberi nama “Persatuan Rakyat Indonesia” (Sardiman AM, 1996). Untuk membahas secara resmi tentang ide federasi tersebut maka pada tanggal 17-18 Desember 1927 diadakan rapat di Bandung. Hadir dalam rapat itu antara lain perwakilan dari BU, PNI, PSI, PPKI, beberapa organisasi pemuda seperti Sumatranen Bond, zaum Betawi, Pasundan, Kelompok Studi Indonesia.
Mereka sepakat mendirikan sebuah federasi yang diberi nama “Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia” (PPPKI). Kemudian sebelum terbentuk kepengurusan federasi yang tetap, terlebih dulu dibentuk semacam panitia yang diketuai oleh Sabirin. Akhirnya terbentuk kepengurusan tetap PPPKI, sebagai berikut.
- Dewan Penasihat : Ir. Sukarno dan Dr. Sukiman
- Ketua : Iskaq Cokroadisuryo
- Sekretaris merangkap Bendahara : Dr. Samsi.
Adapun tujuan dari PPPKI adalah sebagai berikut:
- Mencegah perselisihan antar partai dan organisasi
- Menyatukan arah dan cara beraksi dalam perjuangan ke kemerdekaan Indonesia.
- Mengembangkan persatuan kebangsaan Indonesia dengan berbagai lambangnya, seperti Sang Merah Putih, lagu Indonesia Raya dan Bahasa Indonesia.
Politik untuk Kesejahteraan dan Kejayaan
Yuk belajar tentang Politik untuk Kesejahteraan dan Kejayaan...
Perlu dipahami bahwa dengan berkembangnya organisasi di kalangan pemuda juga diikuti oleh berkembangnya organisasi wanita atau perempuan di Indonesia. Pada tahun 1912 berdiri organisasi perempuan yang pertama yakni Putri Mardika di Jakarta. Organisasi itu bertujuan untuk membantu bimbingan dan penerangan pada gadis bumiputera dalam menuntut pelajaran dan mengemukakan pendapat di muka umum, serta memperbaiki hidup wanita sebagai manusia yang mulia.
Berbagai aktivitas dilakukan oleh organisasi itu, terutama memberikan beasiswa untuk menunjang pendidikan dan menerbitkan Majalah wanita Putri Mardika. Beberapa tokoh yang pernah duduk dalam kepengurusan Putri Mardika, yaitu Sabaruddin, R.A Sutinah, Joyo Pranoto, Rr. Rukmini, dan Sadikun Tondokusumo. Kartini Fonds, didirikan atas usaha Ny. C. Th. Van Deventer, seorang penasehat Politik Etis
Perkumpulan itu didirikan pada 1912 dengan tujuan untuk mendirikan sekolah Kartini. Setelah itu, muncul dan berkembang organisasi perempuan di berbagai daerah, juga organisasi-organisasi perempuan sebagai bagian dari organisasi yang sudah ada, seperti organisasi wanita di Muhammadiyah, organisasi wanita di Taman Siswa, organisasi perempuan di BU, dan begitu seterusnya. Berkembangnya berbagai organisasi wanita tersebut mendorong pergerakan wanita untuk lebih berperan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan. Wanita yang mengenyam pendidikan juga semakin banyak. Dengan demikian, wawasan mereka juga semakin berkembang untuk memberi dukungan terhadap organisasi-organisasi pergerakan pada umumnya.
Diadakannya Kongres Pemuda II yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda tersebut nampaknya ikut menyemangati perjuangan organisasi pergerakan perempuan di Indonesia. Seide dengan pelaksanaan Kongres Pemuda II itu kemudian organisasi-organisasi wanita yang telah berkembang di berbagai daerah di Indonsia itu mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928, di Pendopo Joyodipuro, yang dipimpin oleh Ny. R.A. Sukanto. Kongres itu diprakarsai oleh Ny. Sukoto, Nyi Hajar Dewantara, dan Nn. Suyatin.
Kongres itu bertujuan untuk menjalin persatuan di antara perkumpulan wanita, dan memajukan wanita. Dalam Kongres Perempuan Indonesia I itu dihadiri oleh 30 organisasi wanita. Kongres Perempuan Indonesia I itu merupakan bagian penting bagi Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia. Untuk mengenang sejarah kongres perempuan maka setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya organisasi itu berubah nama sebagai Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPPI).
Perjuangan organisasi itu semakin kuat dengan didirikannya Isteri Sedar dan Istri Indonesia. Isteri Sedar didirikan oleh Suwarni Pringgodigdo (1930), di Bandung. Organisasi itu bertujuan meningkatkan kesadaran wanita Indonesia untuk memperkokoh cita-cita Indonesia Merdeka. Organisasi ini sejalan dengan PNI, yang menolak poligami. Selanjutnya Istri Indonesia didirikan 1932. Organisasi itu didirikan berdasarkan nasionalisme dan demokrasi. Tujuan Istri Indonesia adalah mencapai Indonesia Raya dan bersikap kooperatif terhadap pemerintah Belanda. Tokoh-tokoh organisasi itu adalah Ny. Sunaryo Mangunpuspito dan Maria Ulfah Santoso. Kongres Perempuan I dan juga semakin meningkatnya gerakan organisasi wanita telah ikut mendorong bagi kemajuan perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kejayaan. Kejayaan ini dalam rangka menuju cita-cita kemerdekaan.
Materi Sejarah Indonesia (Wajib) SMA - 11 Lainnya
footer_v3
Bersama Aku Pintar temukan jurusan kuliah yang tepat
sesuai minat dan bakatmu.
Aku Pintar memiliki visi membuat pendidikan merata, mudah dijangkau, dan terjangkau dengan Program Journey Pintar yang merupakan sebuah program persiapan lengkap bagi siswa SMA/SMK/sederajat yang ingin masuk ke perguruan tinggi impiannya.
Kontak Kami
Grand Slipi Tower Lt. 42
Jl. S. Parman Kav 22-24
Jakarta Barat
© 2024 Aku Pintar. All Rights Reserved